Selasa, 26 Agustus 2008

My Milad...

Assalamualaikum...
Alhamdulillah, hari ini aku udah 31 thn. Syukur tak terpemanai ku ucapkan kepada Allah, sampai hari ini, di milad yang ke-31 ini Allah SWT masih memberikan nikmat yang tak terhingga, nikmat kesehatan, nikmat kehidupan, sehingga masih ada kesempatan untuk berikhtiar menjalankan tugas-2 yang masih terbengkalai.
Sebagai wish-nya ari ini ku cuma berharap semoga ke depan, hidup akan lebih baik, lebih bisa kerja lebih keras lagi, terutama lebih bisa menjalani hidup sesuai dengan tuntunan agama, n satu lagi bisa nikah di usia 31 tahun (udah telat benar sih!)
Oh ya, i ought to say thank's buat Lidia (my Gal) buat ucapan happy b'day nya (u're the 1-st) A' akan ingat wish-nya. Buat ayang yang juga ngucapin selamat pagi ini, ntar yang bang hil beliin Connellonya.
Akhirnya aku cuma berdoa semoga Allah selalu memberkahi umur yang diberikannya ini, Amiinn.
Wass.

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 25 Agustus 2008

Tan Malaka....

Tan Malaka, Sejak Agustus Itu Agustus 11, 2008

Posted by anick in All Posts, Indonesia, Sejarah, Tokoh.
8 comments

SAYA bisa bayangkan pagi hari 17 Agustus 1945 itu, di halaman sebuah rumah di Jalan Pegangsaan, Jakarta: menjelang pukul 09:00, semua yang hadir tahu, mereka akan melakukan sesuatu yang luar biasa.

Hari itu memang ada yang menerobos dan ada yang runtuh. Yang runtuh bukan sebuah kekuasaan politik; Hindia Belanda sudah tak ada, otoritas pendudukan Jepang yang menggantikannya baru saja kalah. Yang ambruk sebuah wacana.

Sebuah wacana adalah sebuah bangunan perumusan. Tapi yang berfungsi di sini bukan sekadar bahasa dan lambang. Sebuah wacana dibangun dan ditopang kekuasaan, dan sebaliknya membangun serta menopang kekuasaan itu. Ia mencengkeram. Kita takluk dan bahkan takzim kepadanya. Sebelum 17 Agustus 1945, ia membuat ribuan manusia tak mampu menyebut diri dengan suara penuh, ”kami, bangsa Indonesia”–apalagi sebuah ”kami” yang bisa ”menyatakan kemerdekaan”.

Agustus itu memang sebuah revolusi, jika revolusi, seperti kata Bung Karno, adalah ”menjebol dan membangun”. Wacana kolonial yang menguasai penghuni wilayah yang disebut ”Hindia Belanda” jebol, berantakan. Dan ”kami, bangsa Indonesia” kian menegaskan diri.

Sebulan kemudian, 19 September 1945, dari pelbagai penjuru orang mara berduyun menghendaki satu rapat akbar untuk menegaskan ”kemerdekaan” mereka, ”Indonesia” mereka. Bahkan penguasa militer Jepang tak berdaya menahan pernyataan politik orang ramai di Lapangan Ikada itu.

Dua tahun kemudian, meletus pertempuran yang nekat, sengit, dan penuh korban, ketika ratusan pemuda melawan kekuatan militer Belanda yang hendak membuat negeri ini ”Hindia Belanda” kembali. Dari medan perang itu Pramoedya Ananta Toer mencatat dalam Di Tepi Kali Bekasi: sebuah revolusi besar sedang terjadi, ”revolusi jiwa—dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa merdeka….”.

Walhasil, sebuah subyek (”jiwa merdeka”) lahir. Agaknya itulah makna dari mereka yang gugur, terbaring, tinggal jadi ”tulang yang berserakan, antara Krawang dan Bekasi”, seperti disebut dalam sajak Chairil Anwar yang semua kita hafal. Subyek lahir sebagai sebuah laku yang ”sekali berarti/sudah itu mati”, untuk memakai kata-kata Chairil lagi dari sajak yang lain. Sebab subyek dalam revolusi adalah sebuah tindakan heroik, bukan seorang hero.

Dalam hal ini Tan Malaka benar: ”Revolusi bukanlah suatu pendapatan otak yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang jempolan dan bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa.”

Tan Malaka menulis kalimat itu dalam Aksi Massa yang terbit pada 1926. Dua puluh tahun kemudian memang terbukti bahwa, seperti dikatakannya pula, ”Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai keadaan.”

Itulah Revolusi Agustus.

Tapi kemudian tampak betapa tak mudahnya memisahkan perbuatan yang heroik dari sang X yang berbuat, yang terkadang disambut sebagai ”hero” atau ”pelopor”. Sebab tiap revolusi digerakkan oleh sebuah atau sederet pilihan + keputusan, dan tiap keputusan selalu diambil oleh satu orang atau lebih. Dan ketika revolusi hendak jadi perubahan yang berkelanjutan, ia butuh ditentukan oleh satu agenda. Ia juga akan dibentuk oleh satu pusat yang mengarahkan proses untuk melaksanakan agenda itu.

Sekitar seperempat abad setelah 1945, Bung Karno, yang ingin menegaskan bahwa Revolusi Agustus ”belum selesai”, mengutarakan sebuah rumus. Ia sebut ”Re-So-Pim”: Revolusi-Sosialisme-Pimpinan. Bagi Bung Karno, revolusi Indonesia mesti punya arah, punya ”teori”, yakni sosialisme, dan arah itu ditentukan oleh pimpinan, yakni ”Pemimpin Besar Revolusi”.

Tan Malaka tak punya rumus seperti itu. Tapi ia tetap seorang Marxis-Leninis yang yakin akan perlunya ”satu partai yang revolusioner”, yang bila berhubungan baik dengan rakyat banyak akan punya peran ”pimpinan”.

Bahwa ia percaya kepada revolusi yang ”timbul dengan sendirinya”, hasil dari ”berbagai keadaan”, menunjukkan bagaimana ia, seperti hampir tiap Marxis-Leninis, berada di antara dua sisi dialektika: di satu sisi, perlunya ”teori” atau ”kesadaran” tentang revolusi sosialis; di sisi lain, perlunya (dalam kata-kata Tan Malaka) ”pengupasan yang cocok betul atas masyarakat Indonesia”.

Di situ, ada ambiguitas. Tapi ambiguitas itu agaknya selalu menghantui agenda perubahan yang radikal ke arah pembebasan Indonesia.

l l l

TAK begitu jelas, apa yang dikerjakan Tan Malaka pada Agustus 1945. Yang bisa saya ikuti adalah yang terjadi sejak proklamasi kemerdekaan bergaung.

Beberapa pekan setelah 17 Agustus 1945, di Serang, wilayah Banten, Tan Malaka bertemu dengan Sjahrir. Mungkin itulah buat pertama kalinya tokoh kiri radikal di bawah tanah itu berembug dengan sang tokoh sosial demokrat. Tan Malaka dan Sjahrir secara ideologis berseberangan; seperti halnya tiap Marxis-Leninis, Tan Malaka menganggap seorang sosial-demokrat sejenis Yudas.

Tapi seperti dituturkan kembali oleh Abu Bakar Lubis —orang yang menyatakan pernah dapat perintah Presiden Soekarno untuk menangkap Tan Malaka—dalam pertemuan di Serang itu Tan Malaka mengajak Sjahrir untuk bersama-sama menyingkirkan Soekarno sebagai pemimpin revolusi. Menurut cerita yang diperoleh A.B. Lubis pula, Sjahrir menjawab: jika Tan Malaka bisa menunjukkan pengaruhnya sebesar 5 persen saja dari pengaruh Soekarno di kalangan rakyat, Sjahrir akan ikut bersekutu.

Ada sikap meremehkan dalam kata-kata Sjahrir itu. Konon ia juga menasihati agar Tan Malaka berkeliling Jawa untuk melihat keadaan lebih dulu sebelum ambil sikap.

Jika benar penuturan A.B. Lubis (saya baca dalam versi Inggris, dalam jurnal Indonesia, April 1992), pertemuan di Serang itu lebih berupa sebuah perselisihan: sang ”radikal” tak cocok dengan sang ”pragmatis”.

Tan Malaka tampaknya hendak menjalankan tesis Trotsky tentang ”revolusi terus-menerus”. Bagi Trotsky, di sebuah negeri seperti Rusia dan Indonesia—yang tak punya kelas borjuasi yang kuat—revolusi sosialis harus berlangsung tanpa jeda. Trotsky tak setuju dengan teori bahwa dalam masyarakat seperti Rusia dan Indonesia revolusi berlangsung dalam dua tahap: pertama, tahap ”borjuis” dan ”demokratis”; kedua, baru setelah itu, ”tahap sosialis”.

Bagi Trotsky, di negeri yang ”setengah-feodal dan setengah-kolonial”, kaum borjuis terlampau lemah untuk menyelesaikan agenda revolusi tahap pertama: membangun demokrasi, mereformasi pemilikan tanah, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Maka kaum proletarlah yang harus melaksanakan revolusi itu. Begitu tercapai tujuannya, kelas buruh melanjutkan revolusi tahap kedua, ”tahap sosialis”.

Ini tentu sebuah pandangan yang terlampau radikal—bahkan bagi Rusia pada tahun 1920-an, di suatu masa ketika Lenin terpaksa harus melonggarkan kendali Negara atas kegiatan ekonomi, dan kelas borjuis muncul bersama pertumbuhan yang lebih pesat. Di Indonesia agenda Trotskyis itu bisa seperti garis yang setia kepada gairah 1945. Dilihat dari sini, niat Tan Malaka tak salah: ia, yang melihat dirinya wakil proletariat, harus menggantikan Soekarno, wakil kelas borjuis yang lemah.

Tapi Sjahrir, sang ”pragmatis”, juga benar: pengaruh Tan Malaka di kalangan rakyat tak sebanding dengan pengaruh Bung Karno. Dunia memang alot. Di sini ”pragmatisme” Sjahrir (yang juga seorang Marxis), sebenarnya tak jauh dari tesis Tan Malaka sendiri. Kita ingat tesis pengarang Madilog ini: revolusi lahir karena ”berbagai keadaan”, bukan karena adanya pemimpin dengan ”otak yang luar biasa”.

Tapi haruskah seorang revolusioner hanya mengikuti ”berbagai keadaan” di luar dirinya? György Lukács, pemikir Marxis yang oleh Partai Komunis pernah dianggap menyeleweng itu, membela dirinya dalam sebuah risalah yang dalam versi Jerman disebut Chvostismus und Dialektik, dan baru diterbitkan di Hungaria pada 1996, setelah 70 tahun dipendam.

Dari sana kita tahu, Lukács pada dasarnya dengan setia mengikuti Lenin. Ia mengecam ”chvostismus”. Kata ini pernah dipakai Lenin untuk menunjukkan salahnya mereka yang hanya ”mengekor” keadaan obyektif untuk menggerakkan revolusi. Bagi Lenin dan bagi Lukács, revolusi harus punya komponen subyektif.

Tentu, ada baku pengaruh antara dunia subyektif dan dunia obyektif; ada interaksi antara niat dan kesadaran seorang revolusioner dan ”berbagai keadaan” di luar dirinya. Tapi, kata Lukács, di saat krisis, kesadaran revolusioner itulah yang memberi arah. Penubuhannya adalah Partai Komunis.

Tapi seberapa bebaskah ”kesadaran revolusioner” itu dari wacana yang dibangun Partai itu sendiri? Saktikah Partai Komunis hingga bisa jadi subyek yang tanpa cela, sesosok hero?

Ternyata, sejarah Indonesia menunjukkan PKI juga punya batas. Partai ini harus mengakui kenyataan bahwa ia hidup di tengah ”lautan borjuis kecil”. Agar revolusi menang, ia harus bekerja sama dengan partai yang mewakili ”borjuis kecil” itu. Ia tak akan berangan-angan seperti Tan Malaka yang hendak merebut kepemimpinan Bung Karno. Di bawah Aidit, PKI bahkan akhirnya meletakkan diri di bawah wibawa Presiden itu.

Pada 1965 terbukti strategi ini gagal. PKI begitu besar tapi kehilangan kemandirian dan militansinya. Ia tak melawan pada saat yang menentukan, tatkala militer dan partai ”borjuasi kecil” yang selama ini jadi sekutunya menghantamnya. PKI terbawa patuh mengikuti jalan Bung Karno, sang Pemimpin Besar Revolusi, yang mementingkan persatuan nasional.

Terkurung di bawah wacana ”persatuan nasional”, agenda radikal tersisih dan sunyi. Terutama dari sebuah Partai yang mewakili sebuah minoritas—yakni proletariat di sebuah negeri yang tak punya mayoritas kaum buruh. Tan Malaka sendiri mencoba mengelakkan ketersisihan itu dengan tak hendak mengikuti garis Moskow, ketika pada 1922 ia menganjurkan perlunya Partai Komunis menerima kaum ”Pan-Islamis”—yang bagi kaum komunis adalah bagian dari ”borjuasi”—guna mengalahkan imperialisme.

Tapi ia juga akhirnya sendirian. Sang radikal, yang ingin mengubah dunia tanpa jeda tanpa kompromi, bergerak antara tampak dan tidak. Ia muncul menghilang bagaikan titisan dewa. Sejak Agustus 1945, Tan Malaka adalah makhluk legenda.

Sebuah legenda memang memikat. Tapi dalam pembebasan mereka yang terhina dan lapar, sang pahlawan sebaiknya mati. Revolusi tak pernah sama dengan dongeng yang sempurna.

Jakarta, 7 Agustus 2008.

~Majalah Tempo Edisi. 25/XXXVII/11 - 17 Agustus 2008~

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 21 Agustus 2008

Merdeka lo liak!!!




Ass.
These are other pictures...

[+/-] Selengkapnya...

Merdeka !!!!!





Ass.
Merdeka!!!!
Ini lah sebagian kemeriahan acara memperingati HUT RI ke63/2008

[+/-] Selengkapnya...

Sabtu, 16 Agustus 2008

Indonesia..4 Indonesia

100 tahun yang lalu, orang-orang paling pintar, cerdas, dan pemilik semangat yang luar biasa tinggi, sudah mencanangkan bahwa Indonesia harus merdeka. Merdeka yang berarti bebas dari cengkeraman penjajah, bebas dari kemiskinan dan kebodohan. Bukan hanya itu, mereka juga punya cita-cita. Bahwa bangsa ini harus menjadi bangsa yang besar, dan memang, mereka semua berambisi untuk mewujudkan mimpi itu.

Sekedar mengingatkan, 20 Mei 1908 dideklarasikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional berkat didirikannya organisasi Budi Utomo, organisasi pemuda pertama yang tidak berlandaskan etnis dan kedaerahan. Budi Utomo. Budi Utomo pun menjadi organisasi pelopor, pionir, yang menggugah masyarakat untuk mendirikan organisasi serupa daripada menyerah pada nasib: kesengsaraan, kemiskinan dan penyiksaan akibat imperalisme.

Empat tahun kemudian, didirikanlah Indische Partij oleh tiga serangkai Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), Douwes Dekker dan Dr. Cipto Mangunkusumo. Indische Partij menjadi organisasi pertama yang misi utamanya adalah mewujudkan Indonesia merdeka. Di buku yang saya baca ditulis, “Tujuan partai ini benar-benar revolusioner, karena ingin mendobrak kenyataan politik rasial yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia.” Ini berarti, Indische Partij sejak awal sudah berencana membawa massa menuju paradigma bahwa perbedaan adalah suatu hal yang indah, serta merupakan aset yang sudah sepatutnya dijaga oleh pemiliknya.

Lalu, apa yang ingin saya sampaikan dari tulisan ini? Indische Partij memiliki semboyan Hindia for Hindia, yang berarti “Indonesia untuk Indonesia”—sebab saat itu Indonesia masih dinamakan Hindia. Artinya, Indonesia hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang menetap dan bertempat tinggal di Indonesia tanpa terkecuali, dan tanpa memandang apapun jenis bangsanya.

Jika hendak menafsir secara bebas, Hindia for Hindia juga bisa dijadikan suatu gerakan di mana kita, sebagai bangsa Indonesia, memperjuangkan keutuhan bangsa kita sendiri. Hindia for Hindia mengajak kita untuk menjaga apa yang kita miliki, yaitu tanah air Indonesia. Sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk memakai produk-produk yang dibuat oleh penduduk lokal, karena apa yang diproduksi bangsa ini, bukankah pada awalnya dibuat untuk saudara sebangsanya?

Mohammad Hatta

Segenap tumpah darah Indonesia diciptakan Tuhan sebagai saudara. Pendahulu kita sudah menyadari hal itu. Ketika Mohammad Hatta ditangkap karena dituduh memiliki andil dalam pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), beliau memberikan pidato pembelaan yang cemerlang berjudul “Indonesia Merdeka”. Ketika Soekarno juga ditangkap oleh Belanda pada tahun 1930 sebagai anggota Partai Nasional Indonesia (PNI), beliau pun mengumandangkan pidato pembelaan dengan judul “Indonesia Menggugat”. Mereka berdua akhirnya menjadi proklamator Indonesia, sampai-sampai disebut dwitunggal karena keduanya sama-sama bijaksana, cerdas dan nasionalis. Tapi yang paling penting, Bung Karno dan Bung Hatta sama-sama berjuang untuk Indonesia. Ketika mereka berdua dihadapkan pada pengadilan, mereka sama-sama membela Indonesia, berjuang atas nama Indonesia, bukannya membela diri sendiri.

Pada titik itu, 1908, rakyat bersatu di bawah satu nama: Indonesia. Tidak ada lagi orang-orang yang mengatasnamakan daerah dan etnisnya, apalagi atas nama dirinya sendiri. Meskipun faham yang dimiliki berbeda-beda, dari nasionalis, demokratis, sampai komunis, semuanya berjuang dengan satu kata: Indonesia.

Jadi, mengapa sekarang harus menghapus apa yang sudah para pahlawan bina? Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya? Kita harus menunjukkan bahwa kita benar-benar menghormati jasa-jasa beliau semua. Telah satu abad berlalu, sekarang Indonesia justru terpecah belah lagi. Terlalu banyak orang yang ingin memisahkan diri dari Indonesia, dan terlalu banyak republik-republik yang telah berdiri kendati tidak secara resmi. Padahal, Indonesia adalah satu bangsa yang kaya, dan sudah seharusnya kita jaga semaksimal mungkin.

Kembali pada semboyan Hindia for Hindia, apakah kamu sudah memberi kontribusi untuk Indonesia? Selama ini, semua orang selalu saja mengeluh, betapa miskin negara ini, betapa tidak teratur negara ini.

Coba buka lemari bajumu. Apakah kamu memiliki kebaya, ataupun pakaian berbahan batik? Seberapa sering kamu memakainya? Apakah kamu malu memakainya ketika pergi bersama teman-temanmu? Mengapa harus malu? Orang India bahkan bisa pergi ke mana-mana menggunakan sari. Apakah ada kaus I ♥ DC? I ♥ NY? Mengapa kamu tidak membuat kaus I ♥ Indonesia? Bukankah itu negaramu?

Bacalah koran yang datang hari ini. Apakah kamu masih kesal karena Malaysia mengklaim lagu “Rasa Sayange” sebagai lagu nasional mereka? Mengapa? Apakah kamu hafal liriknya? Apakah kamu kesal angklung pun dicap sebagai milik mereka? Berapa kali kamu pernah memainkan angklung seumur hidupmu? Kamu marah karena tempe dipatenkan oleh Jepang? Kenapa? Bukankah selama ini kamu malu jika teman-temanmu datang ke rumah dan pembantumu hanya menyediakan tempe dan tahu?

Pergilah ke mal. Makanan apa yang kamu pilih? Di restoran mana? Sate Khas Senayan? Sari Ratu? Atau malah Sushi Tei? Bandingkan seberapa sering kamu makan di restoran mancanegara dibandingkan menyantap nasi uduk yang jauh lebih tasty dan sangat disukai turis. Pernahkah kamu membeli CD lokal yang bajakan? Kalau selalu begitu, kapan negara kita akan kaya? Kapan terakhir kali kamu berharap bisa mengunjungi Candi Borobudur? Kapan terakhir kali kamu menyeberang di zebra cross?

Apakah kamu sudah menelaah bagaimana cara kamu hidup, sebelum mulai menyalahkan orang lain dan pemerintah? Mari resapi semboyan Indonesia untuk Indonesia, dan lakukan sesuatu untuk melanjutkan perjuangan mereka semua: para pahlawan kita.


source: http://untukindonesia.blogwae.com/

[+/-] Selengkapnya...

gerakan mahasiswa tempo doeloe

March 3, 2008

Gerakan Mahasiswa ITB 1978

Filed under: MILITER, SOEHARTO — kapucino @ 8:21 pm
Tags: , ,

“Hanya Tuhan yang boleh tindas kami, itupun kalau Ia mau”

Mungkin mahasiswa ITB zaman sekarang sudah tidak mengenal lagi cerita ini. Dan mungkin juga mahasiswa-mahasiswa kampus lainnya, ketika almameter mereka mengalami tindakan represif yang sama. Tetapi gambar adalah bukti otentik bahwa benar kampus-kampus mereka pernah mencatat sejarah yang pahit.

Penolakan Soeharto di ITB tahun 1978

Penolakan Soeharto sebagai Presiden kembali di ITB, 16 Januari 1978. Dan ini berbuntut panjang pada agresi aparat keamanan masuk ke dalam kampus ITB.

Agresi Aparat masuk kampus dari gerbang

Di gambar ini adalah Boulevard - jalan yang membelah kampus ITB. Terlihat tentara berada di pintu gerbang utama kampus, siap merangsek ke dalam kampus.

Pemeriksaan KTM oleh aparat

Digambar ini, mahasiswa di pagar betis dan dilakukan pemeriksaan KTM.

Penjagaan gerbang-gerbang

Penjagaan gerbang-gerbang kampus sejak suksesnya invasi aparat ke dalam kampus.

Pemeriksaan massal

Pemeriksaan massal yang berujung pada penahanan beberapa mahasiswa.

  • Penolakan Soeharto : 16 Januari 1978
  • Agresi Militer Pertama : 1 Februari 1978
  • Agresi Militer Kedua : 2 - 9 februari 1978

Sebagian orang masih mengingat kasus NKK - BKK di era 70-an ini, dikenal dengan nama Normalisasi Kehidupan Kampus. Awal dari infiltrasi kekuatan politik penguasa Orde Baru dalam struktur kehidupan kampus. Dimana adanya bentukan Senat-senat di dalam kampus oleh pemerintah untuk mengontrol kehidupan mahasiswa.

Photo lainnya dari era-70-an.

Prosesi pemakaman salah satu korban

Prosesi pemakaman Rene Conrad, korban penembakan karena gesekan mahasiswa dengan militer di tahun 1970,

Ibu Rene Conrad dan Kapolri

Ibu dari Rene Conrad menunjuk Awaludin Jamin, Kapolri saat itu.

Sumber Photo : http://gerakanmahasiswa78.blogspot.com (lebih lengkap dalam blog tersebut)

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 14 Agustus 2008

Ngarai Sianok.... (Sianok Canyon)






Ass.
Pernah dengar Nagari Sianok (Sianok Canyon)?
Salah satu objek wisata di Kota Bukittinggi, ini lho sebagian gambarnya, sempat-2 in datang ya!

[+/-] Selengkapnya...

Imagine Day Study Tour




Ass. Ari Minggu kemaren tanggal 10 Agustus kami keluarga besar LPK SIEC ikut study tour ke Bukittinggi, ini sebagian fotonya

[+/-] Selengkapnya...