Selasa, 15 September 2009

so long ...

Assalamualaikum wr wb
lama banget rasanya tidak walking blog lagi....
udah kangen......
sambil nunggu pak Ade ngirim kop surat buat revisi program KUPP coba-coba ngupdate blog, emang blg sekarang udah ketinggal dari facebook, tapi sebagai media awal pembelajaran online, tetap keberadaannya mesti diperhatikan.
semoga masih ada waktu tersisa untuk tetap update content blog ini,
Amiii..nnn
Wassalam

[+/-] Selengkapnya...

Jumat, 12 Juni 2009

soal bahasa inggris

caliak soal ndak, caliak se diko

download

[+/-] Selengkapnya...

Sabtu, 23 Mei 2009

Neo-Liberal

PADA suatu hari yang tak diumumkan, menjelang tahun 2009, neo-liberalisme terjerembap. Tapi lakon dengan tema ”Negara & pasar” itu tetap tak mudah diselesaikan.

Di Australia, misalnya. Kevin Rudd, perdana menteri yang berasal dari Partai Buruh, menulis sebuah esai dalam The Monthly awal tahun ini: krisis yang sekarang menghantam dunia adalah titik puncak ”neo-liberalisme” yang mendominasi kebijakan ekonomi dunia sejak 1978. Kini, masa kejayaan 30 tahun itu berakhir dengan kegagalan.

Sepanjang zaman itu, di bawah pemerintahan Partai Liberal yang baru saja jatuh, perekonomian dibiarkan menolak peran aktif Negara. Pasar diyakini sebagai jalan lurus yang tak perlu diintervensi. Lalu lintas global (terutama dalam pasar saham dan uang) dibebaskan menerobos perbatasan nasional.

Menjelang akhir 2008, ortodoksi ”neo-liberal” itu membawa krisis yang dahsyat. Rudd menggantikannya dengan yang berbeda. Ia menyebut agenda baru yang mendasari kebijakan ekonomi yang akan ditempuh Partai Buruh di Australia sebagai ”kapitalisme sosial-demokratik”.

Tak begitu jelas, bagaimana kompromi antara ”sosial-demokrasi” dan ”kapitalisme” itu akan berjalan. Rudd, yang menjanjikan peran Negara yang aktif tapi yang tetap bertaut dengan ”pasar yang terbuka”, hanyalah salah satu dari artikulasi kesepakatan yang kini tumbuh di negeri-negeri kapitalis: ternyata pasar tak bisa selamanya dianggap benar; ternyata ia belum tentu memperbaiki dirinya sendiri. Di Prancis, di sebuah rapat umum di Kota Toulon menjelang akhir 2008, Presiden Sarkozy mengatakan, ”Pikiran bahwa pasar adalah serba-kuasa dan tak dapat ditentang oleh aturan apa pun dan oleh intervensi politik macam apa pun adalah pikiran yang gila.”

Sebuah kesimpulan yang tak baru, sebenarnya. Pada 1926 John Maynard Keynes menulis The End of Laissez-faire dan menunjukkan betapa produktifnya sebuah kapitalisme yang dikelola, bukan yang dibiarkan berjalan seenak nafsu para kapitalis sendiri. Tak lama sejak itu, Amerika dan Eropa mencoba menggabungkan dinamisme modal dan kecerdasan teknokrasi Negara—sebuah jalan tengah yang terkenal sebagai ”kompromi Keynesian”.

Adakah kini sebuah ”kompromi Keynesian” baru sedang tersusun? Kita memang melihat, Amerika Serikat, di bawah Obama, telah jadi sebuah republik di mana pemerintahnya aktif masuk ke dunia yang dulu sepenuhnya daulat swasta. Tapi Obama masih bisa disebut sebagai ”kompromi Keynesian” yang setengah hati. Bahkan para pengkritiknya melihat agendanya sebagai ”neo-liberalisme” yang didaur ulang.

Mungkin karena tak bisa orang mengulang apa yang terjadi di dunia pada zaman Keynes hampir seabad lalu.

Dalam Radical Philosophy (Mei/Juni 2009) Antonio Negri menunjukkan mengapa jalan Keynesian kini mustahil. Dulu jalan itu dapat ditempuh karena, antara lain, ada sebuah negara-bangsa yang mampu secara independen mengembangkan kebijakan ekonomi. Kini, pada abad ke-21, negara-bangsa diterobos oleh proses internasionalisasi di bidang produksi dan globalisasi finansial.

Dalam pengalaman Indonesia, persoalannya bukanlah hanya karena terobosan itu. Jalan Keynesian bertolak dari keyakinan bahwa kekuatan yang bukan-pasar (Negara dan para teknokratnya) harus—dan bisa—memiliki ketahanan untuk mengembangkan nilai yang berbeda dari nilai yang berlaku di pasar. Adapun nilai yang berlaku di pasar adalah nilai yang mendorong maksimalisasi kepentingan privat, bukan kepentingan publik. Tapi bagaimana hal itu akan terjadi di sini?

Di sini, institusi yang berkuasa tak dengan sendirinya jauh dari nilai yang mengutamakan yang publik. Korupsi adalah contohnya. Korupsi adalah privatisasi kekuasaan sebagai sebuah amanat publik.

Agaknya itulah sebabnya tiap kebijakan yang mengandalkan intervensi Negara ke dalam perekonomian selalu disertai rasa waswas: kita tak tahu di mana Negara berada. Rasa waswas itu menyebabkan ada dorongan yang kuat—dari mana saja, juga dari pemerintah sendiri—untuk melucuti tangan birokrasi di pelbagai bidang. Ketika seorang politikus berteriak, ”awas neo-liberalisme dan pasar bebas”, sang politikus umumnya tak menunjukkan bagaimana menegakkan Negara di atas aparatnya yang tertular oleh perilaku berjual-beli di pasar bebas.

Krisis negara-bangsa seperti itulah, krisis karena tubuhnya berlubang-lubang oleh korupsi, yang sebenarnya lebih merisaukan ketimbang gerakan separatis. Dalam krisis itu, orang akan menyerah ke sejenis laissez-faire—ke sebuah kondisi ”neo-liberal” yang tak disengaja. Sebab, hampir di tiap sektor, juga di kalangan birokrasi, ada semacam ”anarki” yang dicemaskan Keynes. Anarki, karena apa yang merupakan pegangan kebersamaan hampir-hampir tak ada lagi.

Tapi tak berarti bahwa negara-bangsa telah disisihkan. Justru sebaliknya: dalam keadaan ketika korupsi merajalela, ada sebuah kekuatan yang paradoksal yang bekerja di sekitar Negara. Di satu pihak, kekuatan itu cenderung mengaburkan posisi ”Negara” dalam mengelola pasar: semua keputusan bisa diatur dengan jual-beli kekuasaan. Di lain pihak, posisi ”Negara” justru diperkuat, agar ada kebutuhan untuk membeli kekuasaan itu.

Itu sebabnya kita sebenarnya tak tahu persis, bagaimana mengatur ”kompromi Keynesian”, bagaimana mengelola sekaligus pasar yang terbuka dan Negara yang aktif. Tapi orang-orang masih terus berbicara tentang ”neo-liberalisme”. Ya, saya mendengar, tapi harus saya akui, saya sering kebingungan. Mungkin karena saya menanti lakon ”Negara & pasar” itu berakhir dengan Negara yang bersih dan pasar yang tak cemar. Sebuah happy ending.

~Majalah Tempo Edisi 04 Mei 2009~

[+/-] Selengkapnya...

Thersites

Demokrasi dimulai dengan seorang buruk muka yang dipukul punggungnya. Namanya Thersites, tokoh yang tak banyak dikenal dalam puisi Iliad karya Homeros dari sekitar abad ke-9 Sebelum Masehi.

Dalam kisah para raja dan pangeran yang membawa ribuan prajurit untuk berperang mengalahkan Kota Troya ini Thersites dilukiskan sebagai ”lelaki paling jelek” dalam pasukan. Kakinya lemah sebelah, pundaknya melengkung, rambutnya tinggal beberapa helai di ubun-ubun. Tapi yang menyebabkan ia dicatat dalam Iliad adalah ”lidahnya yang tak terkendali”. Ia mengecam mereka yang berkuasa.

Pada suatu saat, setelah bertahun-tahun perang tak selesai, Thersites mendamprat Raja Agamemnon.

”Agamemnon,” teriaknya dengan suara melengking, ”sekarang apa yang membuat diri tuan rusuh, apa lagi yang tuan inginkan? Tenda tuan penuh dengan logam berharga dan perempuan jelita, sebab tiap kali kami taklukkan kota kami persembahkan jarahan itu kepada tuan.”

Thersites tampaknya adalah suara yang lelah perang—yang merasa bahwa orang bawahan macam dia hanya menanggungkan rasa sakit. Maka serunya pula kepada sang raja: ”Tuan tak berbuat baik, dengan membiarkan bangsa Achaea yang tuan perintah jadi sengsara.”

Ketika Agamemnon tak menyahut, Thersites pun berseru kepada sejawatnya: ”Marilah kita berlayar pulang, dan tinggalkan orang ini di Troya”.

Mendengar itu, salah seorang sekutu Agamemnon, Odysseus, mendatanginya. Raja Ithaca ini marah. ”Jaga mulutmu, Thersites! Jangan kau ngoceh lebih jauh. Jangan kau cerca para pangeran bila tak ada yang mendukungmu….”

Dan Odysseus pun memukulkan tongkat keemasannya ke punggung Thersites. Laki-laki itu tersungkur, bengkak dan berdarah.

Tapi orang-orang tak menolong Thersites; mereka malah menertawakannya ketika si mulut tajam itu menangis kesakitan….

Sejarah demokrasi mendapatkan perumpamannya dalam kisah orang yang dipukul dan ditertawakan itu. ”Demokrasi,” kata Rancière dalam 10 tesisnya tentang politik, ”adalah istilah yang diciptakan oleh musuh-musuhnya.”

Kata demos bermula sebagai ejekan bagi yang tak ”punya kualifikasi” memerintah. Menurut Rancière, dari tujuh axiomata atau syarat-syarat memerintah yang disusun Plato ada empat yang bersifat alamiah, semuanya berdasarkan kelahiran. Maka yang tua punya dasar untuk berkuasa atas yang muda, majikan atas hamba, bangsawan atas petani. Plato juga menyebut syarat kelima: kekuasaan yang kuat atas yang lemah, dan syarat keenam: kekuasaan mereka yang punya pengetahuan atas mereka yang tidak.

Yang menarik ada axioma ketujuh dalam Plato: ”pilihan tuhan”. Lantaran dewa atau Tuhan tak bisa ditebak, kekuasaan yang disebut karena ”pilihan tuhan” datang melalui sejenis undian. Dalam demokrasi tak ada kualifikasi apa pun bagi yang memerintah, kecuali, dalam kata-kata Rancière, ”semata-mata kebetulan”. Tak ada prinsip yang sudah siap dalam mengalokasikan peran sosial.

Dengan kata lain: demokrasi, bagi musuh-musuhnya, adalah kekuasaan yang awut-awutan, pemerintahan para Thersites yang bermuka buruk yang pantas dipukul dan ditertawakan.

Perlu ditambahkan di sini: mereka ini—setidaknya dalam kisah Yunani kuno—tak hanya yang berasal dari kelas sosial lebih rendah. Pada mulanya, kata demos memang mengacu ke ”mereka yang tak berpunya”. Tapi di satu bagian Buku XII Odysseus disebutkan bagaimana Polydamas mengeluh karena pendapatnya tak diacuhkan Hektor—meskipun keduanya pangeran Troya dan saudara sekandung.

Rakyat, atau demos, dengan demikian bukanlah himpunan tertentu satu kelompok penduduk. Rakyat adalah pelengkap penyerta justru dalam arti mereka tak bisa serta. Rakyat adalah siapa saja yang jadi bagian yang tak masuk bagian, himpunan yang tak masuk hitungan, le compte des incomptés.

Ada yang paradoksal di sini: di satu pihak, rakyat melengkapi bangunan kekuasaan; di lain pihak, rakyat ada di luarnya. Dalam paradoks itulah politik, sebagai perjuangan, lahir. Sebagai pelengkap, mereka yang tak masuk hitungan itu dibutuhkan. Tapi ketegangan terjadi ketika pada saat yang sama mereka ditampik dan pemisahan ditegakkan, ketika kekuasaan yang ada menentukan mana yang bisa didengar (atau dilihat) dan mana yang tidak.

Tapi kekuasaan yang demikian tak mengakui bahwa selalu ada yang gerowong yang tak tercakup oleh garis pemisah yang diletakkan dari atas. Dari yang gerowong itulah semburan terjadi. Dari gerowong itulah politik bangkit. Thersites bersuara dan ia dipukul, ditertawakan, dan diabaikan—tapi bukankah dengan demikian kita tahu ada liang kosong dalam wibawa Agamemnon dan keutuhan bangsa Achaea, dan bahwa Odysseus tak ingin ditinggalkan sendiri di ambang Perang Troya?

Tentu, Thersites seorang diri; ia bukan subyek sebuah laku politik. Tapi gugatannya adalah gugatan yang wajar bagi siapa saja yang merasakan ketidakadilan dan aniaya. Politik sebagai perjuangan selalu menyerukan panggilan yang universal—dan itu sebabnya dari gerowong itu terjadi gerak kolektif yang bisa dahsyat.

Maka kini kita lebih dekat ke Thersites ketimbang ke Odysseus. Tapi ini juga karena kita (bersama Thersites) tak tahu apa sebenarnya yang hendak dicari orang macam Agamemnon.

Kita hanya tahu, Perang Troya yang bertahun-tahun itu bermula karena istri sang raja melarikan diri ke pelukan orang lain. Pada mulanya adalah ego—yang akhirnya menentukan segalanya. Hanya dengan kebrutalan yang luar biasa proses itu bertahan. Dalam arti itu, kisah Homeros bukanlah sebuah epos; ia sebuah tragi-komedi: sebuah kisah kekuasaan yang gila dan ganjil, di mana seorang Thersites tak bisa serta, tak mau serta.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 11 Mei 2009~

[+/-] Selengkapnya...

in Batam






Assalamualaikum...
tanggal 18 Mei kemaren ada kesempatan ke Batam (jadi juga ke kota ini) dalam rangka Orientasi Teknis Pendidikan Kesetaraan Bagi Penyelenggara....
Berikut ada beberapa phota yang bisa diambil di Batam, ada Photo jembatan Barelang, photo sama cs, photo ladang pohon Naga orang dan lain-lain..

[+/-] Selengkapnya...

Sabtu, 09 Mei 2009

Estaba La Madre..

”Ibu itu di sana, berdiri, berkabung…”

Kesedihan terbesar mungkin bukan kesedih­an manusia karena Tuhan mati, tapi kesedihan seorang ibu yang anaknya menemui ajal dalam penyaliban.

Pada zaman ini kesedihan besar itu tetap tak terban­dingkan. Tapi pada saat yang sama juga menyebar. Kini tak hanya satu ibu yang sedih, dan tak hanya satu anak yang disalibkan.

Kita ingat Argentina, 1976-1983. Negeri ini hidup di bawah titah pemerintahan militer yang menculik dan melenyapkan ribuan orang, termasuk anak-anak muda. Diperkirakan 30 ribu orang hilang.

Renee Epelbaum, misalnya, seorang ibu, menemukan bahwa anak sulungnya, Luis, mahasiswa fakultas kedokteran, diculik. Tanpa sebab yang jelas. Itu 10 Agustus 1976. Takut nasib yang sama akan jatuh ke kedua anaknya yang lain, Lila dan Claudio, Renee pun mengirim mereka ke Uruguay. Tapi di sana mereka justru dikuntit sebuah mobil dengan nomor polisi Argentina—dan akhirnya, 4 November 1976, Lila dan Claudio juga lenyap.

Bertahun-tahun kemudian, seorang perwira angkat­an laut menceritakan apa yang dilakukannya terhadap anak-anak muda yang diculik itu. Pada suatu saat mere­ka akan dibius dan ditelanjangi. Para serdadu akan mengangkut mereka ke sebuah pesawat. Dari ketinggian 4.000 meter, tubuh mereka akan dilontarkan hidup-hidup ke laut Atlantik, satu demi satu….

Komponis Argentina, Luis Bacalov, pernah hendak mengingatkan orang lagi akan zaman yang buas itu. Ia menciptakan sebuah opera satu babak, Estaba la Madre. Saya tengok di YouTube: di adegan pertama, ketika perkusi dan piano mengisi kesunyian dan pentas gelap, tampak laut. Makam yang tak bertanda itu muncul seje­nak di layar. Kemudian: wajah, puluhan wajah. Di antara itu, sebuah paduan suara yang semakin menggemuruh.

Tapi bukan sang korban yang jadi fokus opera ini, melainkan sejumlah perempuan yang tak lazim. ”Inilah orang-orang gila itu,” begitu kita dengar di pembukaan.

Para ”orang gila”, umumnya separuh baya, berbaris di jalan, dengan kain menutupi rambut, dan duka menutup mulut. Tapi sebenarnya mereka tak diam. Estaba la Madre mengutip kisahnya dari sejarah: perempuan-perempuan itu ibu yang berdiri, yang berkabung, bertanya, menuntut, karena anak-anak mereka telah dihilangkan. Me­reka ”gila” karena di negeri yang ketakutan itu, mereka berani menggugat. Tiap Kamis mereka akan muncul di Plaza de Mayo, di seberang istana Presiden. Tiap Kamis, selama 20 tahun.

”Saya tak bisa melupakan,” kata Renee Epelbaum. ”Saya tak bisa memaafkan.” Ia pun jadi salah satu pemula himpunan ibu orang-orang yang hilang itu, yang kemudian dikenal sebagai ”Para Ibu di Plaza de Mayo”—sebuah bentuk perlawanan yang tak disangka-sangka. Mula-mula, akhir April 1977, hanya 14 perempuan yang berani melawan larangan berkumpul. Berangsur-angsur, jumlah itu jadi 400.

Tak mengherankan bila kemudian para ibu pun jadi sebuah lambang yang lebih luas cakupannya ketimbang Plaza de Mayo. Ia menandai yang universal. Opera Estaba la Madre, misalnya, mengambil asal-usul pada Stabat Mater dalam C minor yang digubah Pergolesi, menjelang komponis ini meninggal dalam umur 26 tahun pada abad ke-18. Kata-katanya berasal dari lagu puja seorang rahib Fransiskan pada abad ke-13 tentang penderitaan di Golgotha: ”Stabat Mater dolorosa iuxta crucem lacrimosa dum pendebat Filius…”—”Ibu itu di sana, berdiri, berkabung, di sisi salib tempat sang anak tergantung.”

Dan ketika dua orang dari para ibu Argentina itu pekan lalu datang ke Indonesia, mereka pun menghubungkan kisah mereka dengan apa yang terjadi di sini, di antara keluarga Indonesia yang ”hilang”.

Tentu ada beda antara Sang Ibu dalam Stabat Mater dan para ibu di Plaza de Mayo: tak ada tubuh sang anak yang mati di Argentina. Dalam pentas Estaba la Madre, kita akan menemukan Sara, ibu Si Samuel. Ia dan suaminya menanti anaknya. ”Kamis, mereka menunggunya untuk makan malam di rumah,” demikianlah paduan ­suara meningkah. Tapi Samuel tak kembali.

”Ini pukul sembilan.

Ini pukul 10.

Tengah malam

Fajar datang,

dan ia tak pernah pulang.”

Sampai hari ini orang masih bertanya, kenapa itu mesti terjadi. Mungkinkah sebuah kekuasaan yang dijaga ribuan tentara bisa begitu ketakutan?

Saya tak tahu jawabnya—meskipun saya menyaksikannya juga di Indonesia, di tahun di pertengahan 1990-an, ketika ”Tim Mawar” dibentuk untuk menculik dan menyiksa, mungkin sekali membunuh, sejumlah anak muda yang sebenarnya tak cukup kuat untuk menjatuhkan rezim Soeharto. Barangkali paranoia adalah bagian utama dari kekuasaan yang bertolak dari kebrutalan dan pembasmian—kekuasaan yang selamanya merasa tak yakin akan legitimasinya sendiri.

Mungkin sekali para petinggi tentara itu tak bisa lagi membedakan khayalan dengan keinginan. Dalam Estaba la Madre ada adegan yang tak mudah dilupakan, baik di Argentina maupun di Indonesia: tiga jenderal muncul di pentas atas, suara mereka mengancam si lemah dan meng­ajukan dalih kebersamaan—hingga terdengar menggelikan:

Hidup kemerdekaan!

Kemerdekaan bicara dan membuat orang bicara.

Hidup kemerdekaan mengaku dan membuat orang

mengaku.

Hidup kemerdekaan menjerit dan membuat mereka

menjerit.

Yang tak mereka sangka: yang menjerit tak akan bisu. Kekuasaan militer Argentina akhirnya runtuh. Dan di tembok jalan layang, di dinding kios koran, di pel­bagai sudut di Buenos Aires, kata-kata ini tertulis, bukan hanya dari Renee, tapi dari mana-mana yang dianiaya: ”Kami tak memaafkan. Kami tak melupakan.”

~Majalah Tempo Edisi Senin, 20 April 2009~

[+/-] Selengkapnya...

3 Nenek Sihir

Tiga nenek sihir muncul di tepi jalan, ketika Jendral Macbeth dan Jendral Banquo melewati hutan yang gelap berkabut itu. Cuaca didera hujan dan guntur. Mereka dalam perjalanan pulang dari sebuah pertempuran yang berhasil. Setengah ketakutan setengah ingin tahu, mereka terpacak di depan ketiga makhluk aneh itu – tiga sosok yang mengelu-elukan Macbeth dengan gelar kebangsawanan yang tinggi, seperti bagian dari sebuah ramalan yang dahsyat: bahwa Macbeth kelak bahkan akan disebut sebagai sebagai raja.

Pada detik itu, bagi perwira tinggi Skotlandia itu, masa depan tiba-tiba tampak berubah. Raja? Tahta? Benarkah puncak itu akan tercapai, jika mengingat, bahwa Duncan, raja yang diabdinya dan dibelanya dalam perang yang baru saja usai, masih kukuh berkuasa? Sahkah keinginan mencapai posisi itu, berada di kedudukan milik baginda?

Bagi saya, penting buat dicatat bahwa Macbeth, lakon Shakespare yang termashur ini dimulai dengan adegan tiga nenek sihir itu. Tiga perempuan yang ganjil, yang hidup disisihkan dari tata sosial dan percaturan kekuasaan, ternyata tak bisa diabaikan.

Justru mereka itulah yang pada akhirnya mengharu-biru tertib yang ada – dan tanpa melalui kekerasan. Di Skotlandia waktu itu tertib yang ada tak akan memungkinkan Macbeth bisa jadi raja. Adat yang berlaku tak membuka peluang bagi Macbeth untuk mengambil-alih tampuk. Tapi malam itu, di hutan berkabut itu, di bawah cuaca buruk itu, tertib, adat dan lambangnya guncang.

Tapi bukan salah para nenek sihir itu jika tertib itu akhirnya jadi keadaan yang dibangun dengan pembunuhan. Sebab Macbeth, begitu ia merasa nasib akan menjadikannya seorang raja, ia pun segera menyisihkan sang takdir. Ia tak sekedar pasif menunggu sampai keberuntungan itu datang.

Ia bertindak menyingkirkan Duncan. Bukan karena petunjuk ketiga perempuan misterius di hutan itu bila ia membunuh sang Raja. Itu sepenuhnya inisiatifnya. Itu dorongan kehendaknya yang kian kuat. Ia bahkan tak perlu lagi dihasut isterinya untuk merebut kekuasaan. Ketika nujum mengatakan bahwa kelak yang akan menggantikannya sebagai penguasa adalah anak-cucu Jendral Banquo, Macbeth pun diam-diam (bahkan tanpa memberi tahu isterinya) menyuruh agar sahabatnya dalam perang itu dibunuh. Banquo mati. Dengan itu Macbeth berharap nujum, atau “takdir”, bisa dikalahkannya.

Tapi dengan itu semua terungkap bahwa manusia dan perbuatannya-lah yang akhirnya menentukan. Takdir tak ada artinya. Tertib yang semula ditaati oleh seluruh Skotlandia terbukti bukan tertib yang datang secara alamiah, bukan tatanan yang ditentukan oleh langit. Kedudukan raja bukanlah sesuatu yang secara a priori ditetapkan. Ia seperti kursi kosong yang bisa diisi siapa saja yang bisa merebutnya. Tertib dan adat itu pada akhirnya dibentuk oleh ambisi, akal, dan antagonisme manusia.

Apalagi yang diucapkan nenek sihir itu bukan nubuat: mereka tak pernah dihormati sebagai para nabi. Wibawa mereka praktis tak ada. Ucapan mereka tak berdiri di atas (dan terlepas dari) tafsir subyektif Macbeth sendiri. Dalam adegan ke-3 Babak I sang jenderal secara tak langsung menunjukkan hal itu. Ia menyebut ketiga makhluk itu “imperfect speakers” yang cuma sebentar bicara dan kemudian menghilang ke udara malam yang basah.

Itu sebabnya Macbeth bukan hanya sebuah cerita tentang ambisi. Drama ini juga bercerita tentang kekuasaan yang tak tahu di mana mesti berhenti – dalam arti berhenti menaklukkan yang lain. Kekuasaan itu jadi lingkaran setan karena ia dimulai dengan kekerasan.

Sebelum akhirnya kekerasan itu membinasakan manusia, pada mulanya ia berupa kekerasan terhadap misteri. Macbeth mencampakkan nujum tiga nenek sihir yang sebenarnya diutarakan dalam bentuk puisi yang remang-remang dan belum selesai; ia menggantikannya dengan tafsir dan rencana yang tegar; ia mengertikan kata-kata para nenek sihir dengan harfiah. Ketika ketiga perempuan setengah gaib itu meramal bahwa Macbeth hanya bisa dikalahkan oleh seseorang yang “tak dilahirkan oleh perempuan,” jenderal itu yakin tak akan ada manusia akan bisa merubuhkannya. Padahal ternyata ada kemungkinan arti lain dari kalimat itu: Macduff, orang yang akhirnya berhasil membunuh Macbeth, dulu tak dilahirkan dengan cara normal. Ia bayi yang direnggutkan keluar setelah perut ibunya dibedah.

Betapa malangnya Macbeth: ia ambisi yang lempang seperti tombak yang keras dan menakutkan. Ia tak tahu bahwa selalu ada lapis yang tak akan tertembus olehnya. Ketiga nenek sihir itu misalnya, yang tak pernah bisa diperintahkannya dan tak pernah bisa penuh dimaknainya. Juga hutan yang gelap itu. Juga guruh dan cuaca buruk itu.

Juga rasa bersalah yang tak bisa dilenyapkan. Isterinya merasa tangannya selalu berlumur darah; tak ada minyak yang bisa membersihkannya. Macbeth sendiri melihat hantu Banquo yang dibunuhnya datang malam-malam. Kian mengusik rasa bersalah itu, kian paranoid pula ia jadinya, dan makin buas.

Lakon Macbeth akhirnya menunjukkan: betapa destruktifnya ambisi kekuasaan politik ketika ia berkali-kali ingin menembus apa yang tak tertembus, menaklukkan apa yang tak akan tertaklukkan, menghapuskan apa yang tak bisa terhapuskan, ketika ia menyangka dunia bisa dikuasai seperti dalam markas militer.

Maka biarlah di sini saya memperingatkan: Tuan bisa menculik, menyiksa, menggertak – atau, sebaliknya membeli manusia dengan uang – tapi di balik kehidupan selalu tersembunyi nenek-nenek sihir. Kalau Tuan tak tahu kapan harus berhenti, Tuan akan bertaut dengan mala – yang buruk, yang busuk, yang keji, yang akhirnya akan mengenai Tuan sendiri.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 27 April 2009~

[+/-] Selengkapnya...

Bukittinggi.... what a nice city!





Nih, ada gambar Jam Gadang, Ngarai Sianok dan Lobang Japang...

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 23 April 2009

Karnivalesk

Seorang pengamen, dengan rambut gondrong dan gigi gingsul, dengan jaket yang penuh ditempeli kancing bergambar, memainkan gitarnya di sebuah tepi jalan di Tangerang. Namanya Herdy Aswarudi. Dia calon legislator dari Partai Bulan Bintang. Menurut harian The Jakarta Post, ia bukan sedang cari duit derma; ia, seorang pangamen, sedang berkampanye.

Di kota lain: satu sosok dengan kedua tangan siap bersarung tinju, dengan mata mengintai ke depan. Ia terpampang pada sebuah poster di tepi jalan di sebuah kota di sekitar Yogya. Sosok itu memang tak meyakinkan sebagai petarung: dada yang terbuka itu tampak empuk seperti bakpao, dan wajah itu tak ganas benar. Ia bukan pelawak. Ia seorang calon legislator, meskipun saya lupa dari partai apa. Ia menyatakan diri akan melawan korupsi.

Ada sosok lain: berdiri tegak di samping sederet semboyan dengan kostum superhero yang terkenal. It is not a bird. It is not a plane. It is not Superman. It is…well, dia calon wakil rakyat, pembuat undang-undang. Sama dengan ambisi yang di tempat lain memperkenalkan diri dengan huruf-huruf besar sebagai “papinya si X” (nama penyanyi terkenal). Atau berpotret di sebelah potret besar Obama. Atau memasang wajah di samping gambar Beckman, pemain bola tersohor itu…

Lalu apa yang harus kita katakan tentang Pemilihan Umum 2009? Mungkin satu hal: inilah sebuah pemilu tanpa tujuan.

Ada ratusan partai politik yang tak pernah jelas apa bedanya dengan partai lain, tak pernah jelas apa program dan ideologinya, bahkan tak pernah jelas (saking ruwetnya) tanda gambarnya. Pembuat logo itu pasti bukan pendesain yang berpengalaman dalam komunikasi massa; ia pasti seorang calon politikus yang terlalu banyak maunya.

Juga mungkin terlalu banyak pesaingnya. Ada ratusan nama aspiran anggota parlemen yang gambarnya dipasang jor-joran di sepanjang jalan – dengan hasil yang sama sekali tak memikat. Ada calon-calon presiden yang tak bakal punya kans tapi nekad, atau yang rapor masa-lalunya mengerikan tapi bicara sebagai bapak bangsa, atau seorang yang tak jelas kenapa gerangan ia maju: karena merasa diri mampu atau karena merasa diri keren?

Di tengah hiruk-pikuk itu, pejabat penyelenggara pemilihan bekerja seperti orang kebingungan. Dan di tengah kebingungan itu, birokrasi mendaftar nama pemilih dengan kebiasannya yang malas dan serampangan.

Jangan-jangan, inilah sebuah pemilu yang diam-diam dianggap tak begitu perlu tapi ajaib. Saya katakan “tak begitu perlu” karena tampaknya orang tak antusias lagi ikut ramai-ramai berkampanye. Dugaan kuat: yang ikut pawai di jalan-jalan itu hanya tenaga bayaran. Dugaan kuat pula: mereka yang tak hendak memilih, “golongan putih” itu, akan lebih banyak ketimbang jumlah suara sang pemenang nanti.

Walhasil, kalau para pesaing sendiri tak begitu jelas kenapa ikut bersaing, bukankah sebenarnya lebih baik mereka memilih kesibukan lain – misalnya mendanai (dan ikut main) satu tim bola kasti, atau lomba andong, atau kompetisi jaipongan?

Tapi “ajaib”. Meskipun tak jelas benar tujuannya, toh bermilyar-milyar rupiah dibelanjakan untuk itu. Para peserta itu tak peduli bila hasilnya cuma sekedar masuk hitungan dalam daftar yang umurnya tak lebih tiga bulan.

Tapi kata “ajaib” mungkin tak sepenuhnya tepat. Kata yang lebih tepat mungkin “lucu”. Pemilihan Umum 2009 tampaknya jadi sebuah parodi atas diri sendiri: orang-orang membuat sebuah tiruan yang menggelikan atas sebuah proses demokrasi yang tengah mereka tempuh tapi diam-diam mereka cemooh. Demokrasi yang pernah diejek Sokrates di zaman Yunani Kuno sedang diejek para pesertanya sendiri.

Tapi mungkin lebih baik kita berhenti masgul dan mencibir. Ada satu sifat dalam pemilu 2009 ini yang agaknya bisa menghibur para pemerhati politik yang prihatin: bagi sang pengamen, sang “petinju”, sang “superman” dan lain-lain yang tak meyakinkan kita, ini sebuah karnaval, Bung!

Keramaian yang “karnivalesk” (istilah ini saya pinjam dari Bakhtin, tentu) mengandung sesuatu yang kurang ajar, meriah, kacau, berlebihan, tapi bisa kreatif, menghibur, sama rata sama rasa, melibatkan semua orang, tak ada garis pemisah antara pemain dan penonton, dan sama sekali tak ingin produktif.

Sebuah bentuk baru kehidupan sosial terbangun dalam karnaval: mereka yang datang dan ikut serta (kecuali para pengikut pawai bayaran) tak menganggap benda dan manusia sebagai komoditi. Ruang dan waktu tak dihitung untuk dipertukarkan, melainkan dikomunikasikan. Dalam saatnya yang paling menggugah, sebuah karnaval adalah saling merangkul pada pertemuan yang saling menghibur. Ia melawan monolog kebersungguh-sungguhan – termasuk kebersungguhan para analis politik.

Humor sangat penting di sana. Dengan humor, sebuah parodi bisa terhindar dari sikap benci. Saya kira sebenarnya itulah yang tercapai oleh poster-poster yang ganjil itu: sebuah ekspresi menertawakan diri sendiri. Lihat, kami gila-gilaan, berjudi dengan nasib, menarik perhatian bapak dan ibu, dengan merendahkan diri sendiri.

Maka marilah kita jangan terlalu masgul: tak ada jeleknya orang buang uang (yang akan diserap anggota masyarakat lain) untuk secara sengaja atau tak sengaja jadi lucu.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 30 Maret 2009~

[+/-] Selengkapnya...

Herman

Potret itu dipajang berderet-deret, hampir di tiap pohon. Tapi di manakah Herman? Tiba-tiba saya ingat dia. Ia tak pernah kembali. Sepuluh tahun lebih, sejak ia hilang pada 12 Maret 1998. Orang banyak sudah lupa akan kejadian itu, orang mungkin bahkan lupa ada nama itu, nama seorang yang diculik, terutama karena Herman tak dikenal luas. Saya juga tak mengenalnya betul—dan memang tak harus mengenalnya betul.

Baru kemudian saya ketahui aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) itu, bernama lengkap Herman Hendarwan, lahir pada 29 Mei 1971 di Pangkal Pinang, Bangka. Selebihnya tak banyak lagi informasi. Wilson, aktivis PRD yang juga sejarawan, menulis kenangan tentang kawannya ini dan mengakui: ”Menulis… tentang Herman Hendarwan bukanlah hal yang mudah. Banyak sekali aktivitas politiknya yang dilakukan secara rahasia dan tersembunyi….”

Rahasia dan tersembunyi: saya dan Herman bertemu dalam beberapa rapat seperti itu. Itu tahun 1998, pada hari-hari ketika tentara Soeharto menangkap dan memburu para anggota PRD, setelah rezim itu memenjarakan anggota-anggota AJI (Aliansi Jurnalis Independen), setelah orang-orangnya menduduki dengan kekerasan Kantor PDI-P…. Beberapa orang sudah dilenyapkan. Dan Herman salah satu buron, seperti halnya Andi Arif, Nezar Patria, Bimo Petrus, dan lain-lain….

Dari bangunan di Jalan Utan Kayu 68-H, saya dan teman-teman aktivis lain tahu kami dimata-matai. Di tempat yang kini dikenal sebagai ”Komunitas Utan Kayu”, kami belajar bagaimana mengamankan diri, setelah markas AJI, organisasi kami, digerebek polisi dan tiga anggota ditangkap. Satu tim dari kami—Irawan Saptono, Ging Ginanjar, Stanley Adi Prasetya, Tedjobayu—mengatur cara pengamanan itu, yang kadang membingungkan karena tiap kali diubah.

Itu tak bertambah gampang ketika kami harus berhubungan dengan lingkaran yang lebih luas. Tapi waktu itu kalangan pergerakan perlu membentuk jaringan, bahkan front bersama, secara pelan-pelan. Soeharto terlampau kuat, dan kami hanya sekelompok aktivis dengan jangkauan terbatas. Di luar pelbagai gerakan pro-demokrasi bergerak, diam-diam atau terbuka, dan kami saling mendukung, tapi tak ada front persatuan untuk perlawanan.

Selebihnya gagu. Soeharto berhasil menundukkan Indonesia dengan cara yang efisien: menyebarkan ketakutan. Rezim itu punya modal teror yang amat cukup, setelah pada 1965-66 puluhan ribu orang dibunuh, dibui, dan dibuang. Dalam keadaan itu, membentuk kerja sama dengan kalangan lain dalam pergerakan pro-demokrasi perlu didahului dengan mematahkan teror itu. Dengan menjajal keberanian.

PRD ada di garis depan keberanian itu. Saya mulai bekerja sama dengan mereka secara lebih dekat sejak saya mengetuai Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP)—sebuah langkah ke arah pembentukan front bersama dan sekaligus sebuah siasat untuk mendelegitimasi pemilihan umum Soeharto (”kami pura-pura memantau pemilu, karena rezim ini juga pura-pura mengadakan pemilu”). Harus saya katakan sekarang: para anggota PRD—mereka umumnya sadar arti gerakan politik, bersemangat, dan tak gentar—adalah sayap yang paling saya andalkan dalam KIPP.

Tapi sebelum KIPP bekerja penuh, PRD digerebek. Pimpinan mereka, antara lain Budiman Sudjatmiko, kemudian tertangkap. Kami terpukul, tentu: seluruh daya harus dibagi. Sebagian untuk meningkatkan perlawan­an—”la lutta continua!”—dan sebagian menggagalkan usaha tentara Soeharto mematahkan bagian gerakan yang tersisa. Langkah baru harus diatur.

Sejak itu hubungan kami berlangsung makin berahasia, termasuk membangun kontak ke tempat tahanan. Dari Utan Kayu 68-H, operasi seperti ini, termasuk ope­rasi penyebaran informasi dan disinformasi, dikerjakan oleh yang kami sebut ”Tim Blok M”. Lewat jaringan yang dibentuk Irawan kami secara periodik bertemu dengan link PRD”: Andi Arif dan Bambang Ekalaya. Kemudian Herman—meskipun saya tak mengenalnya betul sebagaimana ia tak akan mengenal saya betul. Ada yang harus dijaga, karena bisa saja suatu hari kami tertangkap dan dipaksa buka mulut.

Dan benar: pada Maret itu Herman tertangkap. Atau lebih tepat, diculik. Tak hanya dia; Andi Arief, Faisol Reza, Waluyo Jati, Mugianto, Nezar Patria, Aan Rusdianto—semua aktivis PRD yang diangkut dengan paksa, dalam mobil yang tertutup rapat, dengan mata yang diikat dan kepala yang diselubungi seibo, dan dimasukkan ke dalam yang oleh Nezar Patria disebut, dalam testimoninya kemudian, sebagai ”kuil penyiksaan Orde Baru”.

Sebagian mereka kemudian dilepas. Tapi Herman tidak. Ia hilang. Juga dua nama lain Bimo Petrus dan Suyat. Wiji Thukul, yang untuk beberapa lama dapat disembu­nyikan satu tim teman-teman, juga kemudian lenyap.

Tak ada alasan untuk tak menduga mereka dibunuh. Setidaknya mati dalam penyiksaan. Nezar pernah menggambarkan bagaimana tentara Soeharto menganiaya mereka: pada satu bagian dari interogasi, kepalanya dijungkirkan. Listrik pun menyengat dari paha sampai dada. ”Allahu akbar!” ia berteriak. Tapi mulutnya diinjak. Darah mengucur lagi. Satu setruman di dada membuat napasnya putus. Tersengal-sengal.

Saya bayangkan Herman di ruang itu. Mungkin ia lelap selamanya setelah tersengal-sengal. Mungkin ia langsung dibunuh. Yang pasti, ia tak pernah pulang. Para pejuang dalam sajak Hr. Bandaharo berkata ”tak berniat pulang, walau mati menanti”. Dan Herman pernah menulis surat ke orang tuanya: ”Herman sudah memilih untuk hidup di gerakan”, sebab Indonesia, tanah airnya, membutuhkan itu. Tapi haruskah kekejian itu?

Saya memandang potret-potret pemilihan umum itu, ada orang-orang keji yang saya kenal. Tak ada Herman.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 06 April 2009~

[+/-] Selengkapnya...

Politik-P

DI bilik suara itu aku tertegun: di sini aku sendiri, satu di antara jutaan suara lain, satu noktah di dalam arus 170 juta manusia, mungkin patahan bisik yang tak akan terdengar. Ini sebuah pemilihan umum; statusku: sebuah angka.

Di ruang yang sempit itu, beberapa menit aku menatap lembar-lembar kertas yang diberikan kepadaku. Sederet gambar. Sejumlah nama. 99% tak kukenal. Kalau ada yang kukenal, ia terasa berjarak dari diriku. Tak ada nama partai dan orang yang tercantum yang menggerakkan hati saya. Tak ada ada dorongan kesetiaan yang akan membuat aku dengan gigih memilih sambil berkata pelan tapi bangga, di bilik itu, “Partaiku, wakilku!”.

Aku tertegun: apa aku, apa mereka? Partai-partai itu sehimpun penanda yang tampaknya tak berkaitan dengan yang ditandai; mungkin bahkan tak ada sama sekali yang mereka tandai. Yang jelas, mereka tak membuatku mati-matian ingin mengisikan makna, dengan seluruh keyakinan, ke dalam penanda kosong itu.

Tapi aku mencontreng, aku memilih. Dengan demikian aku mengubah diriku jadi satu satuan numerik, sebuah unsur dalam sebuah ritus kolektif. Dan dengan demikian pula aku termasuk, tergabung, ke dalam sesuatu yang tak pernah, dan mungkin sekali tak akan, jadi bagian hidupku.

Jangan-jangan seluruh ritus ini, setidaknya di tahun 2009 ini, adalah sebuah alienasi. Aku bayangkan mungkin yang serupa terjadi di sebuah pabrik: seorang buruh mengerahkan seluruh tubuhnya dan mencucurkan keringatnya untuk sebilah gunting atau sepasang sepatu, dan pada saat itu juga berubah: ia hanya jadi tenaga-kerja-sebagai-komoditi; ia tak berkaitan lagi dengan buah tangannya sendiri. Ia terasing.

Aku pun ke luar dari bilik suara, aku melangkah meninggalkan TPS, dan tak merasa amat peduli mana yang akan menang dan yang akan kalah dalam pertandingan lima tahun sekali ini. Ada jarak antara aku dan ritus itu. Saling tak kenal lagi, saling terasing. Mungkin inilah yang aku alami: politik yang telah mati.

Di rumah aku baca lagi bab-bab yang berat dari buku Kembalinya Politik, yang ditulis beberapa pemikir politik mutakhir Indonesia, dengan pengantar Rocky Gerung, sebuah buku yang dipersembahkan kepada A. Rahman Tolleng, seorang aktivis yang tak kunjung reda kesetiaannya kepada politik.

Tapi di sini, “politik” berarti politik-sebagai-perjuangan, “politik-P”. Bukan politik yang telah mati. Bukan politik-sebagai-ritus, “politik-R”.

“Politik-R” adalah politik yang tercetak dalam gambar-gambar di lembaran kartu suara 2009 itu. “Politik-R” datang karena ritus adalah repetisi yang diwajibkan dan disepakati. Repetisi bisa membawa daya magis, seperti mantra yang berkali-kali dirapal, tapi juga sebaliknya: bahkan sembahyang yang suatu ketika khusyuk juga bisa kehilangan rasa ketika dilakukan berulang-ulang.

Kita bisa juga mengatakan, “politik-R” adalah politik tanpa la passion du réel — untuk memakai kata-kata Alain Badiou, pemikir yang banyak dikutip dalam Kembalinya Politik.

Tanpa passion, tak ada gairah. Tanpa gairah untuk bersua dan memasuki le réel, berarti tak ada tekad untuk membuka diri kepada yang paling tak terduga. Le réel ada dalam tubuh kita, di bawah-sadar kita, dalam relung gelap kebersamaan kita: wilayah Antah Berantah yang tak terjaring dalam “pengetahuan”, tak tercakup dalam bahasa, tak dapat diatur dalam tata simbolik. Di sanalah segala rencana dan doktrin terbentur.

Tapi justru sebab itu, politik adalah perjuangan. “Politik-P”, adalah laku yang militan, karena ada keberanian mempertaruhkan nasib, menabrak apa yang sudah pasti untuk sesuatu yang belum. Tapi perjuangan itu memanggil aku, melibatkan diriku, bahkan perjuangan itulah yang menjadikan aku sebagai subyek — bukan badan pasif yang datang ke kotak suara dan pergi dengan rasa asing kepada apa yang dilakukannya sendiri.

“Politik-P” itu pernah terjadi ketika Indonesia diproklamasikan merdeka, 17 Agustus 1945, atau ketika para pemuda melawan Tentara Sekutu di Surabaya, 10 November 1945, atau ketika para mahasiswa menantang rezim Orde Baru dan tanpa senjata menduduki Parlemen sampai Suharto terdesak mundur.

Tentu, kejadian itu jarang. Selalu datang “politik-R” menggantikannya. Tapi yang menyebabkan aku merasa terasing di tahun 2009 bukan semata-mata “politik-R” yang tak terelakkan. Di atas saya katakan, tanda gambar dan nama politisi itu tak menandai apa-apa - tapi mungkin saya keliru. Mereka sebenarnya sebuah simptom. Mereka gejala dua nihilisme yang bertentangan.

Nihilisme pertama menampik politik sebagai proses kebenaran - karena kebenaran dianggap tak perlu. Hampir semua partai didirikan bukan karena ada satu subyek kolektif yang tergerak oleh keyakinan tentang yang benar dan yang tidak. Bahkan beberapa partai bukanlah “partai politik” (yang mengandung “kebersamaan”), melainkan “partai palangki”: dibuat hanya untuk jadi tempat mengusung sang pemimpin.

Nihilisme kedua juga menampik politik sebagai proses kebenaran. Tapi ia berbeda dari nihilisme pertama. Bagi para pelakunya, kebenaran ada, tapi bukan sebuah proses. Kebenaran sudah selesai. Tak ada pengakuan, apalagi gairah, akan le réel. Maka tak ada celah bagi yang baru, yang tak terduga-duga, yang lain.

Di sini pun sebenarnya yang terjadi hanya pengulangan. Sebab para pak turut dogma bukanlah orang yang berjuang. Perjuangan dalam arti sebenarya melawan kebekuan dan represi, juga dalam pikiran sendiri.

Sekian puluh tanda dan nama, dua nihilisme…

Di tengah itu, bagaimana aku tak akan terasing? Bagaimana aku tak akan merasa diri hanya sebuah angka kurus di bilik suara, jari penyontreng yang sebentar lagi akan ditelan ritus 170 juta manusia?

~Majalah Tempo, Edisi Senin, 13 April 2009~

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, 17 Maret 2009

Monogami by Slank (sumpah serapah buat yang poligami)

mana mungkin ku melupakan mu
mana mungkin ku meninggalkan dirimu
kau penyelemat ku
kau penyemangat ku

mana mungkin ku menduakan kamu

mana pernah ku menjauhi dirimu
mana pernah ku membohongi dirimu
kau satu-satunya
kaulah segalanya

mana pernah ku menduakan kamu

akulah si burung merpati
ribuan kilo mencari
terbang tinggi hanya tuk
kembali
kembali

baju di hatiku hanyalah untuk dirimu

mana bisa ku menyakiti dirimu
mana bisa menghianti kamu

lagu ini buat my lovely wife to be (mmi, bi pasti monogami)


[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 25 Februari 2009

Popularitas

KEBAJIKAN yang sering diajarkan ialah: jangan mencari
popularitas.

Seorang paman yang jadi pemimpin daerah di pelosok sana
mendengar ajakan ini, dan ia mengangguk-angguk. Ia lalu
menuliskan dalam lubuk hatinya semboyan
"jangan-mencari-popularitas" itu. Ia bekerja tanpa pamrih,
begitu fikirnya (setengah memuji diri sendiri, tentu). Ia selalu
bilang kepada para wartawan setempat yang kadang-kadang
mendatanginya: "Saya tidak suka publikasi, dik" -- maksudnya,
tentulah, tidak suka publisitas. Dan ia mencurigai dirinya
sendiri bila ia sudah mulai ngomong dengan wartawan, sebagaimana
ia juga mencurigai koleganya bila mereka sudah mulai sering
dimuat di koran. Sementara itu ia memang takut jangan-jangan
atasannya menilai dia teramat banyak bicara, dan dengan begitu
menjadikan ia lebih menonjol ketimbang si atasan.

Maka ia cuma berbicara seperlunya. Dan karena popularitas bukan
tumbuh lantaran koran saja, tapi juga lewat pergaulan luas
dengan masyarakat, paman ini juga membatasi diri ke situ. Ia
berhati-hati bersikap dalam kesempatan bertemu dengan orang
banyak. Ia tidak mau nampak terlalu hangat, teramat mendekat,
bergurau, berbantah ataupun menunjukkan rasa intim yang lain. Ia
bisa pura-pura tidak begitu kenal dengan orang yang sebenarnya
sudah dikenalnya. Dalam upacara, juga dalam pidato, ia
menunjukkan tidak ingin dikasih tepuk-tangan dan sambutan
meriah. Ia selalu berkata teguh: "Saya tidak ingin cari
popularitas".

Tapi pada suatu hari, tanda-tanda krisis mulai terasa di bawah
kursinya. Urusan yang harus dilakukan demikian banyak, tapi ia
tahu bahwa orang-orang yang menjadi anak-buahnya terbatas
jumlah, gaji dan pengalamannya. Ia sebenarnya membutuhkan elemen
lain dalam melaksanakan tugas jabatannya: elemen dari luar
birokrasinya. Ia membutuhkan "partisipasi masyarakat". Ia tahu
bahwa apa yang didengarnya dari Bapak Presiden benar: pentingnya
masyarakat melu handarbeni, "ikut memiliki". Tapi ia kini merasa
seperti dalam langkah yang mati.

Ia menjadi susah tidur -- terutama juga karena takut kalau
dicopot. Proyekproyek memang mulai berantakan. Ia berfikir bahwa
ia bisa saja mengadakan mobilisasi penduduk, dengan sedikit
paksaan di sana-sini, untuk mensukseskan program pembangunannya.
Tapi untuk itu pun ia tak begitu berani. Jangan-jangan ia bakal
dituduh menjadi "oknum". Ia tahu bahwa atasannya pasti tidak
suka jika ada kerusuhan, protes atau malah korban di daerahnya.
Atasannya tidak mau ada ribut-ribut

Dan ia jadi berkeringat, resah. Sebagai apa dia ini sekarang?
Birokrat? Atau pemimpin? Kepada siapa ia harus menyandarkan
dirinya? Kepada atasan? Ah, atasan tidak selalu tahu keadaannya
yang sebenarnya. Ia tak pernah berhubungan dalam garis
"solidaritas" dengan dia. Ia cuma takut. Dan untuk bersandar
kepada masyarakat ...., dia mungkin tidak pernah dikenal. Atau
lebih tepat: dia cemas tidak akan dipercaya. Ia tidak pernah
bersentuhan dengan mereka, lewat hati.

Tiba-tiba ia jadi ragu: jangan-jangan kebajikan untuk
"tidak-mencari-popularitas", untuk posisinya, bukanlah kebajikan
yang tepat. Kebajikan itu mungkin cocok untuk seorang pekerja
laboratorium, seorang peneliti, atau seorang sekretaris. Tapi
untuk dia?

Esok paginya tiba-tiba ia merasa lega. Ia membaca satu kalimat
dari Ki Ageng Suryomentaram, putera Hamengkubuwono VII yang
meninggalkan kehidupan sebagai pangeran dan menjadi petani serta
filosof: "Apabila kepentingan kekuasaan itu landasannya salah,
maka ia akan merupakan hasrat menguasai orang lain. Padahal
orang berkuasa atau dipercaya, itu disebabkan karena ia
mengenakkan orang lain .... " .

Source : http://www.tempointeraktif.com/hg/caping/1977/06/11/mbm.19770611.CTP74790.id.html

[+/-] Selengkapnya...

Jumat, 20 Februari 2009

Darwin...

Darwin, lelaki pemalu itu, tak ingin membunuh Tuhan. Ini agaknya yang sering dilupakan orang sampai hari ini, ketika dunia memperingati 200 tahun hari lahirnya, 12 Februari.

Menjelang akhir hidupnya, ia hanya mengatakan bahwa ia ”harus puas untuk tetap jadi seorang agnostik.” Teori evolusinya yang mengguncangkan dunia pada akhirnya bukanlah penerang segala hal. Ketika ditanya mengapa manusia percaya kepada Tuhan, Darwin hanya mengata­kan, ”Misteri tentang awal dari semua hal tak dapat kita pecahkan.”

Dia sendiri pernah jadi seorang yang alim, setidaknya jika dilihat di awal perjalanannya mengarungi laut di atas kapal HMS Beagle dari tahun 1831 sampai 1836. Pemuda­ berumur 22 tahun itu, yang pernah dikirim ayahnya un­tuk­ jadi pastor (setelah gagal bersekolah dokter), dan di penjelajahan itu diajak sebagai pakar geologi, amat gemar­ me­ngutip Alkitab. Terutama untuk menasihati awak ka­pal yang berfiil ”buruk”. Selama belajar di Christ’s College di Cambridge, sebuah sekolah tua yang didirikan pada abad ke-15, Darwin memang terkesan kepada bu­ku seperti Eviden­c­es of Christia­nity karya William Paley, pemikir yang gigih membela ajar­an Kristen pada zaman ketika rasio­nalitas dan otonomi manusia dikukuhkan tiap hari.

Tapi Darwin pelan-pelan berubah pan­dang­an. Otobiografinya mengatakan, ketika ia me­nulis karyanya yang termasyhur, On the Origin of Species, yang terbit pada 1859, ia masih seorang ”theis”. Sampai akhir ha­yatnya ia tak pernah jadi atheis. Namun, setelah lima tahun penjelajahan menelaah kehidupan satwa liar dan fosil, ditanggalkannya argumen Paley.

Bagi seorang apologis, segala hal di alam semesta ada­lah hasil desain Tuhan yang mahasempurna. Tapi Darwin menemukan bahwa tak ada satu spesies pun yang bi­sa dikatakan dirancang ”sempurna”; makhluk itu ber­ubah dalam perjalanan waktu, menyesuaikan diri dengan kondisi tempatnya hidup.

Darwin juga menemukan hal yang lain. Ia tak hanya me­nyiasati hidup alam di pantai Amerika Selatan dan ceruk Pulau Galapagos. Ia memandang juga ke dunia manusia di zamannya, dan bertanya: bagaimana desain Tuhan dikatakan sempurna bila ketidakadilan begitu menyakitkan hati? Darwin melihat kejamnya perbudakan. Ia, yang pernah bersahabat dengan seorang bekas budak dari Guyana yang mengajarinya teknik taksidermi ketika ia bersekolah kedokteran di Edinburgh, menganggap perbudakan sebagai ”skandal bagi bangsa-bangsa yang ber­agama Kristen”. Dalam perjalanan dengan HMS Beagle itu ia juga menyaksikan nestapanya manusia yang jadi pribumi Tierra del Fuego.

Tak bisa diterangkan dengan cara Paley mengapa Tuhan yang adil dan maha-penyayang menghasilkan desain yang melahirkan keadaan keji itu. Tentu ia bisa menemukan tema ini dalam kisah kesengsaraan Ayub dalam Alkitab, tapi bagaimana ”keadilan” Tuhan di situ bisa diterima seseorang yang berpikir kritis dan tak takut?

Bagi Darwin, apologia ala Paley gagal. Darwin tak me­lihat ada desain dalam keanekaragaman makhluk hidup dan kerja seleksi alamiah. Lingkungan hidup yang me­ngontrol nasib kehidupan di alam semesta bekerja tak konsisten dan tanpa tujuan. Alam memecahkan problemnya dengan cara yang berantakan dan tak optimal, dan tiap penyelesaian tergantung pada keadaan ketika itu.

Mau tak mau, pandangan itu merisaukan. Darwinisme adalah bagian dari sejarah yang ikut menenggelamkan apa yang disebut penyair Yeats sebagai ”ceremony of innocence”—yang terutama dijunjung oleh lembaga agama. Di Amerika Serikat, lebih banyak orang tak percaya kepada teori evolusi. Di sana pula, para pengkritik Darwin mengibarkan teori tentang adanya ”desain yang pintar” di alam semesta. Mereka mengatakan, ada ”kecerdasan” yang datang dari luar alam yang campur ta­ngan ke kancah hidup di sini, hingga, misalnya, bakteria bisa berpusar pada flagellum yang strukturnya begitu rumit hingga tak teruraikan.

Tapi kaum penerus Darwin bisa menunjukkan ada ribuan jenis flagella yang terbangun dari protein yang sebagian besar berbeda, dan jejak evolusi tampak jelas di dalamnya. Sebagian besar komponen yang membentuk flagella diperkirakan sudah ada dalam bakteria sebelum struktur yang dikenal kini muncul.

Artinya, tak ada desain, kata para pe­nerus Darwin. Teori evolusi menunjukkan ketidaktetapan dan kontingensi: hal ihwal selamanya berubah, meskipun tak terus-menerus, dan perubahan itu bergantung pada konteks yang ada, dan konteks itu pun terbangun tanpa dirancang. Bahkan terjadi karena koinsidensi. Stephen Jay Gould mengiaskannya sebagai spandrel, satu bagian dari plengkung dalam gereja gothis yang tak dirancang oleh arsitek tapi terjadi secara kebe­tulan ketika, dan karena, plengkung yang direncanakan itu rampung dibangun.

Memang dengan demikian tak ada lagi narasi besar. Ki­ta hidup dengan apa yang dalam bahasa program komputer disebut kluge, himpunan yang kacau dari macam-macam anasir yang terjadi dalam proses menyelesaikan satu masalah. Tak ada flow-chart yang bisa segalanya dan lengkap, tak ada resep yang akan siap.

Itulah sejarah: dibangun dari praxis, laku, keputus­an setelah meraba-raba, dan mungkin juga loncatan ke dalam gelap di depan. Tapi tak semuanya gagal. Alam pe­nuh dengan perabot yang ganjil dan awut-awutan, tapi makhluk hidup juga punya keterampilan dan kreativitas di tengah keserbamungkinan itu. ”Nature is as full of contraptions as it is if contrivance,” kata Darwin.

Mungkin Tuhanlah yang menyiapkan itu, mungkin juga Ia tak ada. Mungkin tak ada apa pun sebelumnya. Bagi Dar­win itu bukan persoalan. Yang penting adalah mengakui pengetahuan kita yang guyah, rumus kita yang coba-coba, tapi pada saat yang sama kita bilang ”ya” kepada hidup.

Orang beragama akan menyebutnya syukur. Juga ta­­wakal.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 16 Februari 2009~

[+/-] Selengkapnya...

FK-LKM Kecamatan Lubuk Alung

Assalamualaikum Wr Wb...
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan, yang juga dilaksanakan di Kecamatan Lubuk Alung. PNPM Mandiri Perkotaan ini melibatkan 10 Korong yang ada di Kecamatan Lubuk Alung. Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM) sebagai lembaga yang menjadi badan legislasi/representasi warga di tiap-tiap korong pelaksanaan PNPM membentuk sebuah forum sebagai media komunikasi antar LKM yang ada.
Forum Komunikasi - Lembaga Keswadayaan Masyarkat (LK-FKM) Kecamatan Lubuk Alung beranggotakan para koordinator LKM yang ada di Kecamatan Lubuk Alung.
Dan gw yang diberi amanah untuk menjadi koordinator forum ini melihat, para anggota forum cukup bersemangat. Di sela kesibukan para anggota yang nota bene memang mempunyai pekerjaan masing-masing, mereka masih bisa menyisakan waktu mereka untuk hadir dalam rapat-rapat FK-LKM ini. Memang samapai pada rapat yang ke-3 belum semua anggota forum yang bisa hadir, tapi semangat kerelaan mereka sudah terlihat. Semoga niat baik rekan-2 anggota forum ini bisa bermanfaat untuk masyarakat banyak.
Dan satu lagi hal yang menarik, para anggota forum berminat menjadikan forum ini sebagai sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat. Semoga (sekali lagi) niat baik ini bisa terwujud. Amiiii....nnn.
Wassalam.

[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 18 Februari 2009

Thanks Friends....

Assalamualaikum Wr Wb...
Malam ini sekitar jam 20.30 (setengah sembilan) gw kumpul ma temen-2 di RM. Lubuk Anai Raya di Batang Tapakis. Pertemuan ini digagas oleh 470, intinya buat konsolidasi gw untuk jadi caleg. Karena disadari bahwa untuk jadi caleg butuh dukungan dan dana. Nah yang terakhir ini gw nggak punya, tapi ajo coba yakinin bahwa dukungan dari temen-2 banyak dan bisa diandalkan.
Bahkan diundanglah temen-2 untuk hadir.
Dan Alhamdulillah, cukup banyak temen-2 yang hadir ada 470, andi, bang don, pepeng, anton, gval, marwan, mirza ajo amait, osman, TJ, adek, da Jas, Nas, da Buyung, Dedi, Cengeh. Dan kehadiran mereka adalah dukungan buat gw untuk maju terus menjadi anggota legislatif. Dan jujur dukungan mereka semua sungguh teramat berharga. Ditengah kemelut/cobaan yang menimpa diri ini yang sungguh berat, kayaknya dukungan temen-2 sangat berarti, gw jadi optimis bisa untuk maju terus jadi anggota legislatif.
Sekali lagi, Thanks friends...
wassalam.

[+/-] Selengkapnya...





Assalamualaikum...
Finally, niat untuk nyaleg pun udah bulat, berikut ini, kartu nama, leflet serta stiker yang Insya Allah akan menyebar di wilayah IV pemilihan DPRD Kabupaten Padang Pariaman....
Mohon Doa Restu dan Dukungannya..
Wassalam

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 16 Februari 2009

Potret

SEMOGA Tuhan menyelamatkan kita dari potret. Semoga Tuhan menyelamatkan pepohonan Indonesia, tiang listrik Indonesia, pagar desa dan tembok kota Indonesia, dan segala hal yang berdiri dengan sabar di Indonesia, dari gambar manusia.

Bukan karena membuat gambar manusia itu dikutuk Allah. Tapi….

Sebaiknya lebih dulu perlu saya terangkan, terutama bagi para pembaca yang sedang tak di negeri ini, atau yang selama lima bulan belum keluar rumah: adapun gambar manusia itu adalah potret wajah para ”ca-leg”. Atau ”ca-bup”. Atau ”ca-wali”. Atau ”ca-gub”. Atau ”ca-pres”. Demokrasi telah marak di Indonesia, para pembaca yang budiman, juga kelatahan.

Kelatahan, mungkin juga konformisme. Kini hampir tiap orang yang mencalonkan diri untuk dipilih siap maju buat bersaing—sebuah tekad yang bagus sebetulnya. Tapi rupanya mekanisme persaingan politik kini mengandung sebuah paradoks.

Di satu pihak, siapa yang ingin menang harus lebih menonjol ketimbang yang lain. Tapi, di lain pihak, sebagaimana tampak dalam potret-potret yang menempel atau bergelantungan di sepanjang tepi jalan itu, tak seorang pun tampak ingin berbeda dari yang lain.

Saya lihat potret M. Tongtongsot dari Partai Bulan Pecah terpasang berdampingan dengan gambar G. Gundulpringis dari Partai Bintang Bujel. Kedua-keduanya tampil berpeci, mengenakan jas dan dasi. Kedua-duanya memasang sederet huruf, maksudnya singkatan, di dekat nama mereka, dimaksudkan sebagai gelar yang diharapkan membuat diri gagah: ”H”, atau ”Drs”, atau ”MA”, atau ”MSc”. Kedua-duanya terpampang dengan muka lurus ke depan, dengan tatapan tanpa emosi, seperti foto ijazah kursus montir.

Dengan kata lain, orang-orang itu memasarkan diri bukan sebagai pribadi, dengan watak yang tersendiri. Yang tampak di sana hanyalah sebuah tipe. Tipe itu menyatukan entah berapa banyak potret yang berderet-deret, hampir tanpa jarak, dengan nama-nama yang tak akan kita tangkap dengan jelas, apalagi kita ingat, ketika kita lewat di atas motor atau bus. Seorang kawan yang berpengalaman memilih foto wajah buat sampul majalah menyatakan penilaiannya kepada saya: ”92% dari deretan wajah itu tak menarik.” Ia mengatakannya dengan yakin: ”Saya telah berjalan dari ujung Jawa Timur sampai Banten untuk mengamati potret kampanye.”

Apa gerangan yang hendak didapat para pemasang gambar? Jawabnya jelas: mereka ingin dipilih di antara ratusan orang lain. Potret mereka ingin direkam dalam ingatan orang pada menit-menit yang sunyi di depan kotak suara pada hari pemilihan nanti. Nama mereka ingin dihafal. Mereka keluarkan dana berjuta-juta untuk mencapai semua itu dengan memanfaatkan dan mengotori pohon, tembok, dan tiang listrik. Tapi belum saya dengar mereka pernah meneliti sejauh mana kampanye pasang-tampang itu tak sia-sia.

”Tapi saya tak mau ketinggalan,” agaknya demikianlah alasan mereka untuk memakai teknik kampanye ini. Tentu, alasan itu bisa diterima. Namun yang terjadi, yang bisa disebut sebagai kelatahan, justru akan menyebabkan mereka ketinggalan: mereka akan terpaku di tempat, sebagai repetisi, ketika waktu berjalan dan orang-orang jadi jenuh.

Memang ada yang mengatakan, menirukan keyakinan juru propaganda Partai Nazi, bahwa repetisi akan punya hasil positif; bahkan dusta yang terus-menerus diulang akan jadi kebenaran. Partai yang sering memasang iklan di televisi memang tercatat—oleh juru jajak pendapat—mulai menuai hasil: dikenal, dan kadang-kadang dikenal tanpa orang bilang, ”ah, tidak”.

Tapi yang berlangsung kini bukan cuma repetisi. Yang kita saksikan penyeragaman: perlombaan untuk memperlihatkan diri tapi ada saat yang sama takut tampak ”lain”. Maka yang akhirnya saya ingat dari deretan gambar di tepi jalan itu bukanlah wajah calon anggota DPR wilayah saya, melainkan tampang yang lain dari yang lain: tampang dalam iklan kartu telepon XL—muka monyet.

Sebab yang berulang-ulang datang kini bukanlah semboyan yang menggugah, dari retorika yang menggetarkan. Repetisi dalam politik hari ini adalah muka orang yang terpampang di bidang datar. Muka dua dimensi. Muka yang dengan gampang menyesuaikan diri dengan pola umum, ukuran yang lazim, dan bentuk persegi tertentu. Muka yang pada dasarnya menyerah tertempel, tanpa pesona.

Saya kira pada mulanya adalah sebuah salah paham. Serbuan yang visual ke dunia pancaindra kita punya akar di sebuah premis tua bahwa ”melihat” sama dengan ”mengetahui”.

Kesalahpahaman oculocentric ini sudah ada sejak Plato di Yunani Kuno memakai perumpamaan orang yang hidup dalam gua, yang dari kegelapan melihat terang. Tapi tak berhenti di situ. Orang Jawa abad ke-21 tetap memakai kata weruh (melihat) sebagai akar kata kawruh (pengetahuan atau ilmu). Kini televisi merupakan sumber ”pengetahuan” yang tak tertandingi. Kita pun menonton iklan di layar itu, atau melihat (biarpun dengan sekilas) potret-potret di pohon itu, seraya hampir lupa bahwa, seperti pernah ditulis oleh seorang buta, ”indra penglihatan adalah indra berjarak”. Indra lain—penghidu, pendengar, peraba, misalnya—berangkat untuk sesuatu yang dekat, bahkan akrab. Jauh sebelum Plato, dalam bahasa Aramaik, orang buta disebut sagi nahor, atau ”penglihatan yang hebat”.

Hari-hari ini saya pun ingin bersikap sebagai sagi nahor. Saya ingin berdoa: semoga mata orang Indonesia tak akan membuat Indonesia tersesat. Demokrasi perlu dirindukan lagi sebagai tempat suara berseru dengan gema yang kuat, dengan keberanian berbeda—bukan konformisme yang menyerahkan apa yang berharga dalam pribadi ke dalam sebuah pasfoto. Potret itu tak bicara apa-apa.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 02 Februari 2009~

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 22 Januari 2009

Congratulation... 4 70

Assalamualaikum wr wb
Selamat buat ajo, yang tadi malam udah tunangan ama Uci, Insya Allah married tanggal 7 Maret taun ini, semoga bisa merangkai keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, dan bisa menularkan hal ini pada teman-2 yang lain (specially 4 me!!)
wassalam..

[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 21 Januari 2009

Obama....


Assalamualaikum wr wb
Kemaren, 20 Januari 2009, Barack Hussein Obama (pronounced /bəˈrɑːk hʊˈseɪn oʊˈbɑːmə) resmi diangkat menjadi Presiden USA yang ke-44. Kemeriahan pelantikan Presiden negara adidaya ini begitu terasa. Lebih dari 2 juta rakayat Amerika menghadiri langsung acara ini. Belum lagi yang mengikuti dari Media Televisi. Obama, demikian nama kerennya memang menjadi sebuah fenomena tersendiri, sejarah yang dicatatnya sebagai Presiden kulit hitam pertama yang dipilih oleh rakyat Amerika menjanjikan untuk mampu mencatat sejarah-2 lainnya dalam perjalanan kepresidenan beliau.
Memang, di tengah situasi krisis ekonomi yang melanda dunia, Obama menjadi sebuah 'harapan'. Seperti icon dari kampanye nya. Obama yang pernah jadi anak Menteng ditenggarai mampu membawa USA keluar dari krisis ini.
Indonesia, sebagai negara yang pernah membesarkannya, sebenarnya tidak bisa berharap banyak apalagi mengharapkan perhatian maupun bantuan dari USA. Karena diyakini, Obama akan disibukkan dengan perbaikan di Dalam Negerinya.


[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 01 Januari 2009

1-st Day in 2009

Assalamualaikum..
Ini hari pertama di taun 2009, rada gerimis sih, semoga ujan nggak turun, pasti masih banyak orang yang masih molor, karena kecapekan, atau emang karena malas, kan tanggal merah (ari libur)
Tapi gw ngarap, semoga awal taun ini jadi new starting point yang bagus buat gw, karena banyak hal yang mesti digapai di taun ini.
Busyet, gw belom mandi, jadi mo mandi dulu, segitu aja dulu ntar-2 disambung lagi.
Wassalam

[+/-] Selengkapnya...