Rabu, 25 Februari 2009

Popularitas

KEBAJIKAN yang sering diajarkan ialah: jangan mencari
popularitas.

Seorang paman yang jadi pemimpin daerah di pelosok sana
mendengar ajakan ini, dan ia mengangguk-angguk. Ia lalu
menuliskan dalam lubuk hatinya semboyan
"jangan-mencari-popularitas" itu. Ia bekerja tanpa pamrih,
begitu fikirnya (setengah memuji diri sendiri, tentu). Ia selalu
bilang kepada para wartawan setempat yang kadang-kadang
mendatanginya: "Saya tidak suka publikasi, dik" -- maksudnya,
tentulah, tidak suka publisitas. Dan ia mencurigai dirinya
sendiri bila ia sudah mulai ngomong dengan wartawan, sebagaimana
ia juga mencurigai koleganya bila mereka sudah mulai sering
dimuat di koran. Sementara itu ia memang takut jangan-jangan
atasannya menilai dia teramat banyak bicara, dan dengan begitu
menjadikan ia lebih menonjol ketimbang si atasan.

Maka ia cuma berbicara seperlunya. Dan karena popularitas bukan
tumbuh lantaran koran saja, tapi juga lewat pergaulan luas
dengan masyarakat, paman ini juga membatasi diri ke situ. Ia
berhati-hati bersikap dalam kesempatan bertemu dengan orang
banyak. Ia tidak mau nampak terlalu hangat, teramat mendekat,
bergurau, berbantah ataupun menunjukkan rasa intim yang lain. Ia
bisa pura-pura tidak begitu kenal dengan orang yang sebenarnya
sudah dikenalnya. Dalam upacara, juga dalam pidato, ia
menunjukkan tidak ingin dikasih tepuk-tangan dan sambutan
meriah. Ia selalu berkata teguh: "Saya tidak ingin cari
popularitas".

Tapi pada suatu hari, tanda-tanda krisis mulai terasa di bawah
kursinya. Urusan yang harus dilakukan demikian banyak, tapi ia
tahu bahwa orang-orang yang menjadi anak-buahnya terbatas
jumlah, gaji dan pengalamannya. Ia sebenarnya membutuhkan elemen
lain dalam melaksanakan tugas jabatannya: elemen dari luar
birokrasinya. Ia membutuhkan "partisipasi masyarakat". Ia tahu
bahwa apa yang didengarnya dari Bapak Presiden benar: pentingnya
masyarakat melu handarbeni, "ikut memiliki". Tapi ia kini merasa
seperti dalam langkah yang mati.

Ia menjadi susah tidur -- terutama juga karena takut kalau
dicopot. Proyekproyek memang mulai berantakan. Ia berfikir bahwa
ia bisa saja mengadakan mobilisasi penduduk, dengan sedikit
paksaan di sana-sini, untuk mensukseskan program pembangunannya.
Tapi untuk itu pun ia tak begitu berani. Jangan-jangan ia bakal
dituduh menjadi "oknum". Ia tahu bahwa atasannya pasti tidak
suka jika ada kerusuhan, protes atau malah korban di daerahnya.
Atasannya tidak mau ada ribut-ribut

Dan ia jadi berkeringat, resah. Sebagai apa dia ini sekarang?
Birokrat? Atau pemimpin? Kepada siapa ia harus menyandarkan
dirinya? Kepada atasan? Ah, atasan tidak selalu tahu keadaannya
yang sebenarnya. Ia tak pernah berhubungan dalam garis
"solidaritas" dengan dia. Ia cuma takut. Dan untuk bersandar
kepada masyarakat ...., dia mungkin tidak pernah dikenal. Atau
lebih tepat: dia cemas tidak akan dipercaya. Ia tidak pernah
bersentuhan dengan mereka, lewat hati.

Tiba-tiba ia jadi ragu: jangan-jangan kebajikan untuk
"tidak-mencari-popularitas", untuk posisinya, bukanlah kebajikan
yang tepat. Kebajikan itu mungkin cocok untuk seorang pekerja
laboratorium, seorang peneliti, atau seorang sekretaris. Tapi
untuk dia?

Esok paginya tiba-tiba ia merasa lega. Ia membaca satu kalimat
dari Ki Ageng Suryomentaram, putera Hamengkubuwono VII yang
meninggalkan kehidupan sebagai pangeran dan menjadi petani serta
filosof: "Apabila kepentingan kekuasaan itu landasannya salah,
maka ia akan merupakan hasrat menguasai orang lain. Padahal
orang berkuasa atau dipercaya, itu disebabkan karena ia
mengenakkan orang lain .... " .

Source : http://www.tempointeraktif.com/hg/caping/1977/06/11/mbm.19770611.CTP74790.id.html

[+/-] Selengkapnya...

Jumat, 20 Februari 2009

Darwin...

Darwin, lelaki pemalu itu, tak ingin membunuh Tuhan. Ini agaknya yang sering dilupakan orang sampai hari ini, ketika dunia memperingati 200 tahun hari lahirnya, 12 Februari.

Menjelang akhir hidupnya, ia hanya mengatakan bahwa ia ”harus puas untuk tetap jadi seorang agnostik.” Teori evolusinya yang mengguncangkan dunia pada akhirnya bukanlah penerang segala hal. Ketika ditanya mengapa manusia percaya kepada Tuhan, Darwin hanya mengata­kan, ”Misteri tentang awal dari semua hal tak dapat kita pecahkan.”

Dia sendiri pernah jadi seorang yang alim, setidaknya jika dilihat di awal perjalanannya mengarungi laut di atas kapal HMS Beagle dari tahun 1831 sampai 1836. Pemuda­ berumur 22 tahun itu, yang pernah dikirim ayahnya un­tuk­ jadi pastor (setelah gagal bersekolah dokter), dan di penjelajahan itu diajak sebagai pakar geologi, amat gemar­ me­ngutip Alkitab. Terutama untuk menasihati awak ka­pal yang berfiil ”buruk”. Selama belajar di Christ’s College di Cambridge, sebuah sekolah tua yang didirikan pada abad ke-15, Darwin memang terkesan kepada bu­ku seperti Eviden­c­es of Christia­nity karya William Paley, pemikir yang gigih membela ajar­an Kristen pada zaman ketika rasio­nalitas dan otonomi manusia dikukuhkan tiap hari.

Tapi Darwin pelan-pelan berubah pan­dang­an. Otobiografinya mengatakan, ketika ia me­nulis karyanya yang termasyhur, On the Origin of Species, yang terbit pada 1859, ia masih seorang ”theis”. Sampai akhir ha­yatnya ia tak pernah jadi atheis. Namun, setelah lima tahun penjelajahan menelaah kehidupan satwa liar dan fosil, ditanggalkannya argumen Paley.

Bagi seorang apologis, segala hal di alam semesta ada­lah hasil desain Tuhan yang mahasempurna. Tapi Darwin menemukan bahwa tak ada satu spesies pun yang bi­sa dikatakan dirancang ”sempurna”; makhluk itu ber­ubah dalam perjalanan waktu, menyesuaikan diri dengan kondisi tempatnya hidup.

Darwin juga menemukan hal yang lain. Ia tak hanya me­nyiasati hidup alam di pantai Amerika Selatan dan ceruk Pulau Galapagos. Ia memandang juga ke dunia manusia di zamannya, dan bertanya: bagaimana desain Tuhan dikatakan sempurna bila ketidakadilan begitu menyakitkan hati? Darwin melihat kejamnya perbudakan. Ia, yang pernah bersahabat dengan seorang bekas budak dari Guyana yang mengajarinya teknik taksidermi ketika ia bersekolah kedokteran di Edinburgh, menganggap perbudakan sebagai ”skandal bagi bangsa-bangsa yang ber­agama Kristen”. Dalam perjalanan dengan HMS Beagle itu ia juga menyaksikan nestapanya manusia yang jadi pribumi Tierra del Fuego.

Tak bisa diterangkan dengan cara Paley mengapa Tuhan yang adil dan maha-penyayang menghasilkan desain yang melahirkan keadaan keji itu. Tentu ia bisa menemukan tema ini dalam kisah kesengsaraan Ayub dalam Alkitab, tapi bagaimana ”keadilan” Tuhan di situ bisa diterima seseorang yang berpikir kritis dan tak takut?

Bagi Darwin, apologia ala Paley gagal. Darwin tak me­lihat ada desain dalam keanekaragaman makhluk hidup dan kerja seleksi alamiah. Lingkungan hidup yang me­ngontrol nasib kehidupan di alam semesta bekerja tak konsisten dan tanpa tujuan. Alam memecahkan problemnya dengan cara yang berantakan dan tak optimal, dan tiap penyelesaian tergantung pada keadaan ketika itu.

Mau tak mau, pandangan itu merisaukan. Darwinisme adalah bagian dari sejarah yang ikut menenggelamkan apa yang disebut penyair Yeats sebagai ”ceremony of innocence”—yang terutama dijunjung oleh lembaga agama. Di Amerika Serikat, lebih banyak orang tak percaya kepada teori evolusi. Di sana pula, para pengkritik Darwin mengibarkan teori tentang adanya ”desain yang pintar” di alam semesta. Mereka mengatakan, ada ”kecerdasan” yang datang dari luar alam yang campur ta­ngan ke kancah hidup di sini, hingga, misalnya, bakteria bisa berpusar pada flagellum yang strukturnya begitu rumit hingga tak teruraikan.

Tapi kaum penerus Darwin bisa menunjukkan ada ribuan jenis flagella yang terbangun dari protein yang sebagian besar berbeda, dan jejak evolusi tampak jelas di dalamnya. Sebagian besar komponen yang membentuk flagella diperkirakan sudah ada dalam bakteria sebelum struktur yang dikenal kini muncul.

Artinya, tak ada desain, kata para pe­nerus Darwin. Teori evolusi menunjukkan ketidaktetapan dan kontingensi: hal ihwal selamanya berubah, meskipun tak terus-menerus, dan perubahan itu bergantung pada konteks yang ada, dan konteks itu pun terbangun tanpa dirancang. Bahkan terjadi karena koinsidensi. Stephen Jay Gould mengiaskannya sebagai spandrel, satu bagian dari plengkung dalam gereja gothis yang tak dirancang oleh arsitek tapi terjadi secara kebe­tulan ketika, dan karena, plengkung yang direncanakan itu rampung dibangun.

Memang dengan demikian tak ada lagi narasi besar. Ki­ta hidup dengan apa yang dalam bahasa program komputer disebut kluge, himpunan yang kacau dari macam-macam anasir yang terjadi dalam proses menyelesaikan satu masalah. Tak ada flow-chart yang bisa segalanya dan lengkap, tak ada resep yang akan siap.

Itulah sejarah: dibangun dari praxis, laku, keputus­an setelah meraba-raba, dan mungkin juga loncatan ke dalam gelap di depan. Tapi tak semuanya gagal. Alam pe­nuh dengan perabot yang ganjil dan awut-awutan, tapi makhluk hidup juga punya keterampilan dan kreativitas di tengah keserbamungkinan itu. ”Nature is as full of contraptions as it is if contrivance,” kata Darwin.

Mungkin Tuhanlah yang menyiapkan itu, mungkin juga Ia tak ada. Mungkin tak ada apa pun sebelumnya. Bagi Dar­win itu bukan persoalan. Yang penting adalah mengakui pengetahuan kita yang guyah, rumus kita yang coba-coba, tapi pada saat yang sama kita bilang ”ya” kepada hidup.

Orang beragama akan menyebutnya syukur. Juga ta­­wakal.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 16 Februari 2009~

[+/-] Selengkapnya...

FK-LKM Kecamatan Lubuk Alung

Assalamualaikum Wr Wb...
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan, yang juga dilaksanakan di Kecamatan Lubuk Alung. PNPM Mandiri Perkotaan ini melibatkan 10 Korong yang ada di Kecamatan Lubuk Alung. Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM) sebagai lembaga yang menjadi badan legislasi/representasi warga di tiap-tiap korong pelaksanaan PNPM membentuk sebuah forum sebagai media komunikasi antar LKM yang ada.
Forum Komunikasi - Lembaga Keswadayaan Masyarkat (LK-FKM) Kecamatan Lubuk Alung beranggotakan para koordinator LKM yang ada di Kecamatan Lubuk Alung.
Dan gw yang diberi amanah untuk menjadi koordinator forum ini melihat, para anggota forum cukup bersemangat. Di sela kesibukan para anggota yang nota bene memang mempunyai pekerjaan masing-masing, mereka masih bisa menyisakan waktu mereka untuk hadir dalam rapat-rapat FK-LKM ini. Memang samapai pada rapat yang ke-3 belum semua anggota forum yang bisa hadir, tapi semangat kerelaan mereka sudah terlihat. Semoga niat baik rekan-2 anggota forum ini bisa bermanfaat untuk masyarakat banyak.
Dan satu lagi hal yang menarik, para anggota forum berminat menjadikan forum ini sebagai sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat. Semoga (sekali lagi) niat baik ini bisa terwujud. Amiiii....nnn.
Wassalam.

[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 18 Februari 2009

Thanks Friends....

Assalamualaikum Wr Wb...
Malam ini sekitar jam 20.30 (setengah sembilan) gw kumpul ma temen-2 di RM. Lubuk Anai Raya di Batang Tapakis. Pertemuan ini digagas oleh 470, intinya buat konsolidasi gw untuk jadi caleg. Karena disadari bahwa untuk jadi caleg butuh dukungan dan dana. Nah yang terakhir ini gw nggak punya, tapi ajo coba yakinin bahwa dukungan dari temen-2 banyak dan bisa diandalkan.
Bahkan diundanglah temen-2 untuk hadir.
Dan Alhamdulillah, cukup banyak temen-2 yang hadir ada 470, andi, bang don, pepeng, anton, gval, marwan, mirza ajo amait, osman, TJ, adek, da Jas, Nas, da Buyung, Dedi, Cengeh. Dan kehadiran mereka adalah dukungan buat gw untuk maju terus menjadi anggota legislatif. Dan jujur dukungan mereka semua sungguh teramat berharga. Ditengah kemelut/cobaan yang menimpa diri ini yang sungguh berat, kayaknya dukungan temen-2 sangat berarti, gw jadi optimis bisa untuk maju terus jadi anggota legislatif.
Sekali lagi, Thanks friends...
wassalam.

[+/-] Selengkapnya...





Assalamualaikum...
Finally, niat untuk nyaleg pun udah bulat, berikut ini, kartu nama, leflet serta stiker yang Insya Allah akan menyebar di wilayah IV pemilihan DPRD Kabupaten Padang Pariaman....
Mohon Doa Restu dan Dukungannya..
Wassalam

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 16 Februari 2009

Potret

SEMOGA Tuhan menyelamatkan kita dari potret. Semoga Tuhan menyelamatkan pepohonan Indonesia, tiang listrik Indonesia, pagar desa dan tembok kota Indonesia, dan segala hal yang berdiri dengan sabar di Indonesia, dari gambar manusia.

Bukan karena membuat gambar manusia itu dikutuk Allah. Tapi….

Sebaiknya lebih dulu perlu saya terangkan, terutama bagi para pembaca yang sedang tak di negeri ini, atau yang selama lima bulan belum keluar rumah: adapun gambar manusia itu adalah potret wajah para ”ca-leg”. Atau ”ca-bup”. Atau ”ca-wali”. Atau ”ca-gub”. Atau ”ca-pres”. Demokrasi telah marak di Indonesia, para pembaca yang budiman, juga kelatahan.

Kelatahan, mungkin juga konformisme. Kini hampir tiap orang yang mencalonkan diri untuk dipilih siap maju buat bersaing—sebuah tekad yang bagus sebetulnya. Tapi rupanya mekanisme persaingan politik kini mengandung sebuah paradoks.

Di satu pihak, siapa yang ingin menang harus lebih menonjol ketimbang yang lain. Tapi, di lain pihak, sebagaimana tampak dalam potret-potret yang menempel atau bergelantungan di sepanjang tepi jalan itu, tak seorang pun tampak ingin berbeda dari yang lain.

Saya lihat potret M. Tongtongsot dari Partai Bulan Pecah terpasang berdampingan dengan gambar G. Gundulpringis dari Partai Bintang Bujel. Kedua-keduanya tampil berpeci, mengenakan jas dan dasi. Kedua-duanya memasang sederet huruf, maksudnya singkatan, di dekat nama mereka, dimaksudkan sebagai gelar yang diharapkan membuat diri gagah: ”H”, atau ”Drs”, atau ”MA”, atau ”MSc”. Kedua-duanya terpampang dengan muka lurus ke depan, dengan tatapan tanpa emosi, seperti foto ijazah kursus montir.

Dengan kata lain, orang-orang itu memasarkan diri bukan sebagai pribadi, dengan watak yang tersendiri. Yang tampak di sana hanyalah sebuah tipe. Tipe itu menyatukan entah berapa banyak potret yang berderet-deret, hampir tanpa jarak, dengan nama-nama yang tak akan kita tangkap dengan jelas, apalagi kita ingat, ketika kita lewat di atas motor atau bus. Seorang kawan yang berpengalaman memilih foto wajah buat sampul majalah menyatakan penilaiannya kepada saya: ”92% dari deretan wajah itu tak menarik.” Ia mengatakannya dengan yakin: ”Saya telah berjalan dari ujung Jawa Timur sampai Banten untuk mengamati potret kampanye.”

Apa gerangan yang hendak didapat para pemasang gambar? Jawabnya jelas: mereka ingin dipilih di antara ratusan orang lain. Potret mereka ingin direkam dalam ingatan orang pada menit-menit yang sunyi di depan kotak suara pada hari pemilihan nanti. Nama mereka ingin dihafal. Mereka keluarkan dana berjuta-juta untuk mencapai semua itu dengan memanfaatkan dan mengotori pohon, tembok, dan tiang listrik. Tapi belum saya dengar mereka pernah meneliti sejauh mana kampanye pasang-tampang itu tak sia-sia.

”Tapi saya tak mau ketinggalan,” agaknya demikianlah alasan mereka untuk memakai teknik kampanye ini. Tentu, alasan itu bisa diterima. Namun yang terjadi, yang bisa disebut sebagai kelatahan, justru akan menyebabkan mereka ketinggalan: mereka akan terpaku di tempat, sebagai repetisi, ketika waktu berjalan dan orang-orang jadi jenuh.

Memang ada yang mengatakan, menirukan keyakinan juru propaganda Partai Nazi, bahwa repetisi akan punya hasil positif; bahkan dusta yang terus-menerus diulang akan jadi kebenaran. Partai yang sering memasang iklan di televisi memang tercatat—oleh juru jajak pendapat—mulai menuai hasil: dikenal, dan kadang-kadang dikenal tanpa orang bilang, ”ah, tidak”.

Tapi yang berlangsung kini bukan cuma repetisi. Yang kita saksikan penyeragaman: perlombaan untuk memperlihatkan diri tapi ada saat yang sama takut tampak ”lain”. Maka yang akhirnya saya ingat dari deretan gambar di tepi jalan itu bukanlah wajah calon anggota DPR wilayah saya, melainkan tampang yang lain dari yang lain: tampang dalam iklan kartu telepon XL—muka monyet.

Sebab yang berulang-ulang datang kini bukanlah semboyan yang menggugah, dari retorika yang menggetarkan. Repetisi dalam politik hari ini adalah muka orang yang terpampang di bidang datar. Muka dua dimensi. Muka yang dengan gampang menyesuaikan diri dengan pola umum, ukuran yang lazim, dan bentuk persegi tertentu. Muka yang pada dasarnya menyerah tertempel, tanpa pesona.

Saya kira pada mulanya adalah sebuah salah paham. Serbuan yang visual ke dunia pancaindra kita punya akar di sebuah premis tua bahwa ”melihat” sama dengan ”mengetahui”.

Kesalahpahaman oculocentric ini sudah ada sejak Plato di Yunani Kuno memakai perumpamaan orang yang hidup dalam gua, yang dari kegelapan melihat terang. Tapi tak berhenti di situ. Orang Jawa abad ke-21 tetap memakai kata weruh (melihat) sebagai akar kata kawruh (pengetahuan atau ilmu). Kini televisi merupakan sumber ”pengetahuan” yang tak tertandingi. Kita pun menonton iklan di layar itu, atau melihat (biarpun dengan sekilas) potret-potret di pohon itu, seraya hampir lupa bahwa, seperti pernah ditulis oleh seorang buta, ”indra penglihatan adalah indra berjarak”. Indra lain—penghidu, pendengar, peraba, misalnya—berangkat untuk sesuatu yang dekat, bahkan akrab. Jauh sebelum Plato, dalam bahasa Aramaik, orang buta disebut sagi nahor, atau ”penglihatan yang hebat”.

Hari-hari ini saya pun ingin bersikap sebagai sagi nahor. Saya ingin berdoa: semoga mata orang Indonesia tak akan membuat Indonesia tersesat. Demokrasi perlu dirindukan lagi sebagai tempat suara berseru dengan gema yang kuat, dengan keberanian berbeda—bukan konformisme yang menyerahkan apa yang berharga dalam pribadi ke dalam sebuah pasfoto. Potret itu tak bicara apa-apa.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 02 Februari 2009~

[+/-] Selengkapnya...